Makalah Etika Kristen
ETIKA
YANG MERESPONI FIRMAN TUHAN DENGAN PENUH TANGGUNG JAWAB
NAMA : Rapi Antoni
Sirait
NIM : 201502056
SEMESTER : IV (empat)
DOSEN PENGAMPU : Pst. David B. Hasibuan, MA
STT IKSM SANTOSA ASIH JAKARTA TIMUR
TAHUN AJARAN 2017
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makna
Etika Kristen sangat penting bagi kehidupan orang Kristen. Etika Kristen sebagai
ilmu mempunyai fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yaitu perannya
sebagai petunjuk dan penuntun tentang bagaimana manusia sebagai pribadi dan
kelompok harus mengambil keputusan tentang apa yang seharusnya berdasarkan
kehendak dan Firman Tuhan. Khusus bagi kehidupan umat Kristen haruslah
berpedoman pada ketentuan Etika Kristiani yang mencakup setiap aspek kehidupan
dalam ruang lingkup individu, keluarga, kelompok sosial maupun dalam bernegara.
Bicara tanggung jawab berarti bicara kewajiban menanggung segala
sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut).Iman
dan Etika Kristen haruslah berjalan bersamaan, tindakan etis dan tanggung jawab
melibatkan kepercayaan yang dipertaruhkan. Alkitab menjelaskan dan memberikan
petunjuk sebagai standard bagi umat Kristen sebagai pola berfikir dan perbuatan
sebagai norma yang berlaku dalam kehidupan umat Kristen. Dalam penulisan
makalah ini penulis khusus membahas bagaimana memahami Etika yang meresponi Firman
Tuhan dengan penuh tanggung jawabsecaraPribadi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
Etikadan Landasan Filosofis itu?
2.
Bagaimana pandangan
Kristen mengenai Etika?
3.
Apa saja
Asas-asas Etika Kristen itu?
4.
Bagaimana Implementasi
Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui apa Etika dan Landasan Filosofisnya
2.
Untuk
mengetahui bagaimana pandangan Kristen mengenai
Etika
3.
Untuk memahami
Asas-asas Etika Kristen
4.
Untuk memahami
Implementasi Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
ETIKA
Istilah “etika” berasal dari kata ethos (Yun) yang artinya pemukiman,
perilaku, kebiasaan. Berikut beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang
istilah “etika” yaitu:
a. Dr J.
Verkuyl
Ethos berarti kebiasaan,
adat. Demikian juga Ethikos berarti
kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan
perbuatan.
b. Robin
W. Lovin
Ethos yang berarti adat
(Inggris: Custom), sifat (Inggris: Character). Arti tersebut menunjuk pada
nilai sifat, keyakinan, praktik kelompok, ada hubungannya dengan kultur atau
kebudayaan.
c. C. H.
Preisker
Ethos berarti kebiasaan
(Inggris: habit), kegunaan (Inggris: used), adat (Inggris: custom), peraturan,
kultus dan hukum.
Dalam
kaitannya dalam bahasa Latin, etika disebut mores
yang berarti adat atau custom (Ing).
Istilah ini menunjuk pada kelakuan umum, sehingga perbuatan itu hanya secara
lahiriah dan dapat dilihat. Dalam bahasa Latin disebut mos (tunggal) dan mores (jamak)
yang menjelaskan kehendak, tingkah laku, adat istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan, baik dan buruk. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan akhlak
atau moral.
Manusia
adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang
dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Kesadaran
etis adalah kesadaran tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia. Etika
berhubungan erat dengan kelakuan manusia dan cara manusia melakukan
perbuatannya. Kelakuan yang dinyatakan dengan perbuatan itu menunjuk pada dua
hal, yakni positif dan negatif. Pengertian positif menunjuk pada hal yang baik.
Sedangkan pengertian negatif menunjuk kepada hal yang jahat atau tidak baik.
Etika hendak mencari ukuran baik, sebab yang tidak baik atau tidak sesuai
dengan ukuran baik itu adalah buruk atau jahat.
Oleh
sebab itu, tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol perbuatan-perbuatan,
mengoreksi dan membimbing serta mengarahkan tindakan yang seharusnya dilakukan
agar dapat memperbaiki tindakan atau perbuatannya. Pengertian perbuatan positif
adalah “apa yang baik” secara umum atau memakai ukuran yang merupakan pertimbangan
dari tuntutan masyarakat dan sesuai pula dengan hati nurani atau kata hati.[1]
d. Robert
P. Borrong
Etika
adalah ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan seseorang (individu) maupun masyarakat (kolektif).
Moral adalah perilaku yang baik, benar dan tepat dalam kehidupan pribadi maupun
dalam kehidupan bersama (masyarakat).
Nilai-nilai
yang terkandung dalam etika dan moral Kristen adalah nilai-nilai bersumber dari
Firman Tuhan. Nilai-nilai yang diyakini umat beragama sebagai kebenaran mutlak
dan karena itu mengungguli nilai-nilai yang ada dalam tradisi maupun filsafat,
termasuk filsafat politik.[2]
Landasan Filosofis Etika
Robert
C. Solomon menghubungkan rumusan etika dengan filsafat. Ia mengatakan bahwa
etika adalah bagian dari filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi baik,
berbuat baik dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Demikian juga
menurut Magnis suseno dalam Etika Jawa. Ia mengatakan,”Etika dalam arti
sebenarnya berarti “filsafat” mengenai “moral”. Jadi, etika merupakan ilmu atau
refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah moral.[3]
Dalam
bahasa Yunani Filsafat berasal dari gabungan dua suku kata, yakni filia (cinta) dan sofia (kebijaksanaan). Secara harafiah, filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan. Seorang filsuf adalah seorang yang cinta akan hikmat
kebijaksanaan. Etika juga berhubungan erat dengan akal budi dan kesadaran dalam
melakukan sesuatu sehingga etika termasuk ilmu pengetahuan dan bagian dari
filsafat hidup. Peran akal budi untuk mencari hal yang baik itulah yang
menghubungkan antara etika dan filsafat. Dalam hal ini J. Verkuyl menyimpulkan
bahwa ada bentuk-bentuk etika filsafat yang meliputi:
a. Etika
Otonom
Dalam
bahasa Yunani otonom berasal dari dua suku kata, yaitu aouto atau autosyang
berarti sendiri, pribadi, perorangan, dan nomos
yang berarti aturan, hukum, ketentuan. Etika Otonom adalah etika yang
aturannya bersumber dari diri sendiri atau etika yang bersumber pada diri
sendiri, pada hidup pribadi. Ego atau akulah yang membuat peraturan.
b. Etika
Heteronom
Dalam
bahasa Yunani Heteronom berasal dari dua suku kata, yaitu hetero yang berarti bermacam-macam dan nomos. Etika Heteronom adalah etika yang aturannya bersumber dari
orang banyak. Masyarakatlah yang membuat aturan.
c. Etika
Theonom
Dalam
bahasa Yunani theonom berasal dari dua suku kata, yaitu Theos yang berarti Allah dan nomos.
Etika Theonom adalah etika yang aturannya bersumber pada firman Allah atau
penyataan Allah. Misal, dalam Perjanjian Lama ada norma hukum yang disebut
Hukum Sepuluh Perkara atau Dekalog atau
Sepuluh Firman (Kel. 20:1-17) dan dalam Perjanjian Baru disebut hukum kasih
(Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31).[4]
Maka
dari pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa Etika Kristen adalah
Ilmu yang meneliti, menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan
memakai norma kehendak dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.
B.
PANDANGAN
KRISTEN MENGENAI ETIKA
Ada
beberapa karakteristik yang membedakan mengenai etika-etika Kristen, setiap
karakteristik tersebut akan dibahas sebagai berikut:
a. Etika
Kristen Berdasarkan Kehendak Allah
Etika
Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas. Kewajiban etis
merupakan sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Kewajiban ini merupakan
ketentuan dari atas. Tentu saja, perintah etis yang diberikan Allah itu sesuai
karakter moral-Nya yang tidak dapat berubah. Maksudnya adalah, Allah
menghendaki apa yang benar sesuai dengan sifat-sifat moral-Nya sendiri.
“Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus”, Tuhan memerintahkan Israel (Imamat
11:45). “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna’, kata Yesus kepada murid-muridnya (Matius 5:48). “Allah tidak
mungkin berdusta” (Ibrani 6:18). Dengan demikian kita tidak boleh berdusta
juga. “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:16), dan dengan demikian Yesus
berkata,”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).
Singkatnya, etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah, tetapi Allah tidak
pernah menghendaki apapun yang bertentangan dengan karakter moral-Nya yang
tidak berubah.
b. Etika
Kristen Bersifat Mutlak
Karena
karakter moral Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17), maka
kewajiban-kewajiban moral yang berasal dari natur-Nya itu bersifat mutlak.
Maksudnya adalah, kewajiban-kewajiban tersebut selalu mengikat setiap orang di
mana-mana. Tentu saja, tidak setiap kehendak Allah harus berasal dari natur-Nya
yang tidak berubah. Ada beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan natur-Nya
tetapi dengan bebas mengalir dari kehendak-Nya. Misalnya, Allah memilih untuk
menguji ketaatan moral Adam dan Hawa dengan melarang mereka makan buah dari
pohon tertentu (Kejadian 2:16-17). Meskipun secara moral Adam dan Hawa bersalah
karena tidak menaati perintah itu, kita tidak diikat oleh perintah tersebut
saat ini. Perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah dan tidak harus
berasal dari natur-Nya.
c. Etika
Kristen Berdasarkan Wahyu Allah
Etika
Kristen didasarkan pada perintah-perintah Allah, wahyu yang bersifat umum (Roma
1:19-20; 2:12-15 dan khusus (Roma 2:18; 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya
baik melalui alam (Mazmur 19:1-6) dan dalm Kitab Suci (Mazmur 19:7-14). Wahyu
umum berisikan perintah Allah bagi semua orang. Wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya
untuk orang-orang percaya. Etapi di dalam kedua hal tersebut, dasar dari
tanggung jawab etis manusia adalah wahyu ilahi.
Gagal
untuk mengenali Allah sebagai sumber kewajiban moral tidak membebaskan siapapun
juga, bahkan seorang ateis, dari kewajiban moralnya. Karena “apabila
bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri
melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun merekatidak memiliki
hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab
dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam
hati mereka” (Roma 2:14-15). Maksudnya adalah, bahkan jika orang-orang yang
tidak percaya tidak memiliki hukum moral di dalam pikiran mereka, mereka masih
memilikinya tertulis dalam hati mereka. Bahkan jika mereka mengetahuinya
melalui pengertian, mereka memperlihatkannya melalui kehendak hati.
d. Etika
Kristen Bersifat Menentukan
Karena
kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang bermoral maka harus dilaksanakan.
Tidak ada hukum moral tanpa si Pemberi moral; tidak ada perundang-undangan
moral tanpa Pembuat undang-undang moral. Dengan demikan etika Kristen
berdasarkan naturnya adalah preskriptif, bukan deskriptif. Etika berkaitan
dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan dengan apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Orang-orang Kristen tidak menemukan kewajiban-kewajiban etis mereka di
dalam standar orang-orang Kristen tetapi di dalam standar bagi orang-orang
Kristen di Alkitab.
e. Etika
Kristen Itu Deontologis
Sistem-sistem
etis pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori, deontologis (berpusat
pada kewajiban) dan teleologis (berpusat pada tujuan). Etika kristen itu
deontologis dalam arti bersikeras bahwa beberapa tindakan yang menghasilkan ke
gagalan itu tetap baik. Orang-orang Kristen percaya, misalnya, bahwa adalah
lebih baik untuk mengasihi dan kehilangan dari pada tidak mengasihi sama
sekali.
Orang-orang
Kristen percaya bahwa salib bukan merupakan kegagalan hanya karena beberapa
orang akan diselamatkan. Salib itu cukup bagi semua orang, walaupun hanya
bermanfaat untuk mereka yang percaya. Etika Kristen bersikeras bahwa adalah
baik untuk bekerja menentang kefanatikan dan rasisme, meskipun usaha itu
mengalami kegagalan. Hal ini demikian karena tindakan-tindakan moral yang
mencerminkan natur Allah itu baik, baik tindakan itu membawa hasil baik
ataupuntidak. Kebaikan orang Kristen tidak di tentukan oleh undian. Di dalam
hidup ini pemenang tidak selalu benar.[5]
C.
ASAS-ASAS
ETIKA KRISTEN
a. Iman
Untuk
membicarakan hal ini, kita perlu meninjau terlebih dahulu bahwa hakekat
kemanusiaan kita adalah citra Allah (Kej. 1:26-27). Citra Allah itu meliputi gambar
Allah (imago Dei) dan teladan Allah (similitodo Dei). Ini merupakan
kelengkapan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk melakukan
tuga-tugas yang telah diberikan-Nya. Citra Allah adalah potret atau bayangan
yang mempunyai kesamaan sifat. Namun satu hal yang harus kita ketahui adalah
kecitraan manusia dengan Tuhan terkait dengan tugas manusia. Manusia memang
segambar dengan Tuhan tetapi bukan sifat atau keadaan atau tabiat yang imanen
dalam diri manusia melainkan kedudukan manusia yang diperoleh karena berhadapan
dengan Tuhan atau karena bersangkut paut dengan Tuhan. Manusia mencerminkan
atau memantulkan cahaya kemulian Tuhan Allah. Citra Allah dimiliki manusia
ketika manusia berada di Eden atau Firdaus.[6]
Manusia
yang diciptakan sesuai dengan citra Allah inilah yang ditugasi untuk menguasai
atau memerintah dunia dan segala makhluk. Menguasai dan memerintah dalam hal
ini berarti memelihara, mengusahakan dan membangun (Kej. 1:28, 2:15). Akibat
citra tersebut, manusia didudukkan sebagai wakil atau “Gubernur” Allah atau
sebagai penguasa di dunia ini. Sedangkan seorang Gubernur tidak memerintah atas
namanya sendiri, tidak berdaulat sendiri tetapi hanya seorang wakil atau duta.[7]Manusia
dan semua makhluk lainnya adalah milik Tuhan. Kita adalah milik Tuhan dan bukan
milik kita sendiri. Berkaitan dengan tugas kita untuk memelihara, mengusahakan,
dan membangun, timbul pertanyaan etis, yaitu apa yang seharusnya dilakukan
manusia?.[8]
Perbuatan
dan tindakan manusia langsung berhubungan dengan etika. Sedangkan etika sendiri
memberi kepada kita pokok-pokok pertimbangan sebagai pengambilan keputusan etis
untuk apa yang perlu dan harus kita lakukan. Ciri khas Etika Kristen adalah
dimensi Kristen. Dimensi Kristen inilah yang membedakan antara Etika Kristen
dan Etika Sosial atau etika pada umumnya atau etika yang lain. Itulah sebabnya
asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman kepada Tuhan yang telah
menyatakan diri dalam Tuhan Yesus. Didalam diri-Nya kita dapat mengenal Allah
Bapa, Pencipta segala sesuatu. Tuhan adalah pemberi tujuan hidup. Kegiatan
Tuhan untuk memelihara setiap makhluk adalah Allah Pendamai, Allah Penebus, dan
Allah Pembebas melalui karya Sang Anak dan Roh Kudus.[9]
Perbuatan
etis kita adalah perbuatan baik sebagai terjemahan atau ekspresi dari iman kita
karena kita telah dibenarkan oleh iman kepada Kristus oleh Tuhan (Rm. 3:22;
Gal. 2:16). Hal itu juga karena kita telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus
Kristus Sang Juruselamat itu. Iman berkaitan erat dengan perbuatan. Oleh sebab
itu, apabila iman tanpa perbuatan, iman itu menjadi mati atau kosong (Yak.
2:17, 22).[10]
b. Pengakuan
tentang Manusia
Asas
atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman, karya Tuhan dan Pemeliharaan-Nya
terhadap semua makhluk. Dari sini Etika Kristen memperhatikan tindakan manusia
karena pada hakikatnya “...sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia,
dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36).
Tinjauan secara dogmatis, Etika Kristen juga berasas atau bertitik pangkal pada
pengakuan tentang manusia. Manusia memang berhadapan langsung dengan
masalah-masalah atau kasus-kasus yang konkret yang ada dalam pergumulan hidup
sehari-hari. Oleh sebab itu, etika mempunyai misi khusus dalam kehidupan
manusia. Itu sebabnya pula, mengapa kasus-kasus yang konkret tersebut menjadi
bagian yang utama dari setiap pembicaraan etis.[11]
c. Manusia
Dengan Tingkah Lakunya
Etika
memang menyoroti kehidupan manusia dengan tingkah lakunya. Manusia menilai
manusia lain. Hal itu dapat dilihat dari tindakan dari tingkah lakunya. Dalam
hal ini, Poedjatna mengatakan bahwa penilaian itu diambil secara luas, nilai
akan bermacam-macam jenisnya. Nilai adalah a) penilaian etis-moralis yang
berkaitan dengan kelakuan baik dan buruk, b) penilaian medis yang berhubungan
dengan kesehatan seseorang, dan c) penilaian estetik yang berkaitan dengan
keindahan.[12]
Etika
Kristen harus dilihat dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak
Tuhan. Hal ini penting, sebab tindakan dinilai benar adalah tindakan yang
sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan mencari kehendak Tuhan sama seperti
mencari Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, tindakan yang tidak sesuai dengan
kehendak-Nya adalah tidak benar atau jahat. Tindakan itu tidak sesuai dengan
Etika Kristen. Nilai tersebut harus dilihat dari ekspresi seseorang yang
mencerminkan kehendak-Nya.[13]
Tindakan
yang disengaja dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah tindakan etis. Namun,
ada tindakan lain dalam situasi yang sangat khusus yang sering kita hadapi
dalam situasi faktual. Berkaitan dengan hal itu, dalam Etika Jawa dikenal
dengan dora sembala (berbohong tetapi
dianggap baik). Etika dora sembala sebenarnya dapat dikatakan sebagai; kejahatan
kecil yang menyelamatkan. Misal, pada zaman penjajahan Belanda, seorang
gerilyawan Indonesia yang beragama Kristen ditangkap dan dipaksa untuk
mengatakan atau mengaku dimana teman-temannya berada dan berapa jumlah kekuatan
senjatanya. Apabila ia menjawab jujur dan benar, akibatnya sangat fatal. Oleh
sebab itu ia berbohong demi keselamatan teman-temannya dan perjuangannya.
Sekarang marilah kita nilai. Bagaimanakah peristiwa yang faktual tersebut
dilihat dari segi Etika Kristen?[14]
Dalam
situasi yang sangat sulit itu, berlakulah firman Tuhan dalam Dasa Titah nomor
ke-9 yang berbunyi “jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel.
20:16)? Untuk itu kita akan terlebih dahulu melihat kesaksian Alkitab tentang kejahatan
manusia sebagai pengecualian etis, yaitu:
1. Dalam
dialog antara orang Farisi dengan Tuhan Yesus, Dia mengatakan bahwa Musa
mengizinkan perceraian karena “ketegaran hatimu” (Mat. 19:8). Musa tahu bahwa
hal itu jahat tetapi apa boleh buat. Tuhan Yesus mengatakan, “Barang siapa yang
menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain,
ia berbuat zinah” (Mat. 19:9). Memang perceraian ditolak oleh-Nya, kecuali
...Jadi, hal ini termasuk kasus khusus dengan kesimpulan apa boleh buat.
2. Dalam
1 Korintus 7:1 Rasul Paulus menulis, “... Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia
tidak kawin ...”. Namun Paulus melanjutkan, “... tetapi mengingat bahaya
percabulan, baiklah tiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri ...” (1 Kor.
7:2)...hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran ...” (1 Kor. 7:6). Jadi
hal ini pun termasuk pengecualian atau tidak baik tetapi apa boleh buat.
Masalah
yang sama pada zaman Modern ini adalah, misal, masalah perang, penindasan
politik, politik apartheid (ras
diskriminasi) di beberapa bagian dunia ini, ketidakadilan dalam bidang sarana
dan prasarana hidup manusia dan sebagainya. Kita harus memikirkan bagaimana
seorang Kristen dalam kenyataan seperti itu. Persoalannya adalah sampai sejauh
mana kita dapat berkompromi dengan
kenyataan seperti itu? Inilah persoalan etis-teologis.[15]
Dari
uraian asas-asas di atas, Etika Kristen merupakan prinsip-prinsip yang didasari
dari iman Kristen yang menjadi dasar tindakan kita. Prinsip-prinsip Alkitab
memberi kita standard yang harus kita ikuti dalam situasi-situasi di mana tidak
ada petunjuk yang tersurat. Dengan menggunakan prinsip-prinsip yang kita
temukan dalam Kitab Suci orang-orang Kristen dapat menentukan jalan yang harus
ditempuh dalam situasi apapun dengan penuh tanggung jawab tentunya.
D.
Implementasi
Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi
Ciri
etika Perjanjian Lama sangat sesuai dengan apa yang ditekankan dalam etika
Perjanjian Baru. Banyak perintah etis dalam Perjanjian Baru disampaikan dalam
konteks persekutuan dalam Kristus, yaitu jemaat yang hidup, belajar, dan
beribadat bersama-sama serta melayani Kristus dalam dunia.[16]
Sebagai contoh, pasal-pasal utama tentang etika dalam Efesus 4 – 6 dimulai
dengan panggilan untuk “hidup berpadanan dengan panggilan”. Itu berarti panggilan
untuk menjadi anggota masyarakat Allah yang baru, mujizat pendamaian sosial
kerohanian yang telah diadakan-Nya melalui Kristus. Norma-norma moral Pribadi
dalam pasal-pasal itu dikemukakan atas dasar keanggotaan orang percaya sebagai
umat tebusan Allah, yang diuraikan secara terinci dalam pasal-pasal sebelumnya.
Dengan
demikan salah satu cara yang mungkin untuk merakit sejumlah tuntutan moral yang
Allah embankan atas individu adalah membaca pasal-pasal yang terdahulu mengenai
masyarakat Israel dan menghasilkan suatu daftar yang mengandung
implikasi-implikasi moral yang logis bagi individu.[17]
Misalnya, kalau Allah menginginkan masyarakat yang memberlakukan prinsip
kesetaraan dan belas kasihan dalam bidang ekonomi, maka tiap-tiap orang
dituntut untuk tidak menguntungkan diri sendiri dari kelemahan sesamanya. Kalau
Allah menginginkan masyarakat hidup dengan adil dan diatur oleh hukum-hukum,
maka hakim-hakim secara perorangan harus adil, tidak memihak ataupun
menyeleweng.[18]
Dengan
demikian orang dapat hidup sesuai dengan ciri-ciri sosial secara keseluruhan
dan menarik hal-hal yang perlu bagi pribadi. Yang ditekankan ialah soal
perspektif, yaitu: sifat persekutuan yang Allah Kehendaki dan menentukan sifat
pribadi yang berkenan kepada-Nya. Dalam etika Perjanjian Lama unsur-unsur
sosial dan pribadi tidak dapat dipisahkan.[19]
Kewajiban
masing-masing pemain sepak bola dalam suatu kesebelasan tidak berkurang karena
latihannya bertujuan agar para pemain dalam kesebelasan itu secara bersama-sama
dapat memenuhi harapan-harapan pelatih mereka dan memenangkan pertandingan.
Demikian juga, walaupun Perjanjian Lama menekankan kewajiban bersama dari
tuntutan moral Allah, namun kewajiban pribadi untuk untuk hidup secara benar di
hadapan Allah tidak pernah dilupakan atau dihilangkan.[20]
Ada
pertanggung jawaban pribadi yang tersirat dalam pertanyaan yang Allah tujukan
kepada Adam, “Di manakah engkau” (Kej. 3:9), yang mencakup setiap orang yang
diwakilinya. Demikian juga tanggung jawab orang untuk sesamanya secara tersirat
terdapat dalam pertanyaan Allah kepada Kain, “Di manakah adikmu?” (Kej. 4:9).
Pertanggungjawaban kepada Allah untuk diri sendiri dan untuk orang lain adalah
hakikat kemanusiaan kita.
Riwayat bangsa tebusan Allah dimulai dengan iman dan ketaatan seseorang,
yaitu Abraham.Cerita
– cerita tentang para bapak leluhur adalah contoh-contoh tentang kekuasaan,
pemeliharaan dan kesabaran Allah itu di dalam kehidupan individu-individu,
khususnya Yakub/Israel, yang menjadi jelas dan penting dalam sejarah bangsa Allah.Di
Sinai perjanjian Allah dan Abraham demi
keturunannya diperbarui dan diperluas hingga generasi yang menjadi umat tebusan Allah
kemudian diterapkan kepada tiap-tiap individu.Hubungan perjanjian itu pada hakikatnya bersifat kebersamaan:
“Aku akan menjadi Allahmu dam kamu akan menjadi UmatKu”. “Janganlah engkau mempunyai allah-allah
lain di hadapanKu”.Hal ini juga berlaku untuk seluruh DasaTitah dan sejumlah hukum yang
terinci dan penting dalam kelima KitabTaurat.Kumpulan hukum yang paling tua
“Kitab Perjanjian.(Kel.21-22), secara hukum berlaku berdasarkan tanggungjawab dan kewajiban individu dalam hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, sesuai dengan makalah “Etika yang meresponi Firman Tuhan dengan penuh tanggung
jawab”penulis menyimpulkan bahwa meresponi FirmanTuhan berarti menanggapinya dalam Iman kemudian bergerak menghidupinya dalam kehidupan sehari-hari menuju norma-norma kebenaran
yang terkandung di dalam Alkitab. Mengapa Alkitab?
Karena Firman Allah yang tertulis tanpa salah pada naskah aslinya (Original Manuscript Without Error). Alkitab adalah satu-satunya kitab
yang isi norma-norma etisnya selaras dengan logika. Berarti pedoman kebenaran nilai-nilai etis
yang terkandung di dalam Alkitab sesungguhnya adalah yang
selaras dengan nilai
etis dan norma-norma kebenaran.
Terkait dengan perbedaan bahasa yang multi bahasa di atas bumi ini Allah adalah superior di atas segalanya, artinya walaupun demikian banyak nya bahasa-bahasa terjemahan Alkitab yang berbeda, namun Allah sendiri akan membukakan maksud-maksudnya kepada setiap individu yang mengalami pengalaman iman kepada para pembaca kitab suci Alkitab. Mengapa demikian? karena setiap orang yang percaya kepada Kristus Yesus pastilah memiliki pengalaman iman yang berbeda-beda pula. Tuhan adalah ahli bahasa yang mampu menterjemahkan apa maksud doa-doa yang di sampaikan umat manusia kepada-Nya.
Terkait dengan perbedaan bahasa yang multi bahasa di atas bumi ini Allah adalah superior di atas segalanya, artinya walaupun demikian banyak nya bahasa-bahasa terjemahan Alkitab yang berbeda, namun Allah sendiri akan membukakan maksud-maksudnya kepada setiap individu yang mengalami pengalaman iman kepada para pembaca kitab suci Alkitab. Mengapa demikian? karena setiap orang yang percaya kepada Kristus Yesus pastilah memiliki pengalaman iman yang berbeda-beda pula. Tuhan adalah ahli bahasa yang mampu menterjemahkan apa maksud doa-doa yang di sampaikan umat manusia kepada-Nya.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna karena keterbatasan, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details
dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggungjawabkan.
[1]R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
ANDI, 2007). Hal. 2-5
[2]
Robert P. Borrong, Etika Politik Kristen (Jakarta:
UPI & PSE Sekolah Tinggi Teologi, 2006). Hal. 7
[3] R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
ANDI, 2007). Hal. 5
[4] Ibid, hal. 6-7
[5]Norman L. Geisler, Etika Kristen Pilihan dan Isu ,(SAAT).
Hal. 24-27
[6]R. M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
ANDI, 2007). Hal. 62-63
[7]
Ibid. Hal. 63
[8]
Ibid. Hal. 63
[9]
Ibid. Hal. 63-64
[10]
Ibid. Hal. 64
[11]
Ibid. Hal. 64
[12]
Ibid. Hal. 65
[13]
Ibid. Hal. 65
[14]
Ibid. Hal. 66
[15]
Ibid. Hal. 66-67
[16]
Christopher J. H. Wright, Hidup Sebagai
Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia, 2012). Hal. 203
[17]
Christopher J. H. Wright, ibid. Hal. 203
[18]
Ibid. Hal. 203
[19]
Ibid. Hal. 203
[20]
Ibid. 204
Komentar
Posting Komentar