Makalah Psikologi Self Centre
SELF
CENTRE
NAMA : Rapi Antoni
Sirait
NIM : 201502056
SEMESTER : IV (empat)
DOSEN PENGAMPU : Pst. David B. Hasibuan, MA
TAHUN AJARAN 2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Karena dalam kehidupan manusia sebagai individu
ataupun makhluk sosial, kepribadian selalu mengalami warna-warni kehidupan. Ada
kalanya senang, tenteram, dan gembira. Akan tetapi pengalaman hidup membuktikan
bahwa manusia juga kadang-kadang mengalami gangguan Kepribadian dalam menjalani kehidupan, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa manusia
mengalami proses perkembangan kehidupan dalam perjalan hidup.
Kepribadian sangat mencerminkan perilaku seseorang.
Kita bisa tahu apa yang sedang diperbuat seseorang dalam situasi tertentu
berdasarkan pengalaman diri kita sendiri dan juga dalam mengamati pengaruh dari lingkungan sekitar kita. Hal ini dikarenakan dalam berbagai faktor diri setiap orang yang unik, khas dan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, di butuhkan pedoman untuk memahami
dan menjelaskan Kepribadian diri sendiri dan orang lain. Kita harus memahami
definisi kepribadian serta bagaimana kepribadian itu terbentuk. Dengan demikian di butuhkan
teori kepribadian agar gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian
setiap individu dapat di pelajari dan juga untuk dihindari.
Mempelajari kepribadian merupakan hal yang menarik
karena perkembangan pengetahuan mengenai pribadi dengan sendirinya akan
bertambah, ini disebabkan oleh faktor
pengalaman maupun pendidikan. Hal ini terjadi karena
sebenarnya manusia adalah tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang
menyertai setiap langkah dalam hidupnya mengalami tahap-demi tahap dalam proses perkembangan di dalam diri setiap
orang. Dalam pembahasan ini, khusus akan membahas mengenai Self Centre (yang berpusat pada pribadi) berdasarkan teori Rogers.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa Pengertian
Kepribadian?
2. Apa
Faktor Pembentukan Kepribadian dan Teori Tentang Kepribadian?
3. Apa
Teori yang berpusat pada Pribadi itu?
4. Apa saja
Struktur Kepribadian itu?
5. Apa Macam-macam Gangguan Kepribadian itu?
6. Apa
Jenis Terapi Humanistik itu?
7. Apa
Implikasi Client – Centered Therapy dalam Gereja?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengetahui Pengertian Kepribadian dan Teori Tentang Kepribadian
2. Untuk
mengetahui Pembentukan Kepribadian
3. Untuk
mengetahui Teori yang Berpusat pada Pribadi
4. Untuk
mengetahui Struktur Kepribadian
5. Untuk
mengetahui Macam-macam Gangguan Kepribadian
6. Untuk
mengetahui Jenis Terapi Humanistik
7. Untuk mengetahui
Implikasi Client – Centered Therapy dalam Gereja
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KEPRIBADIAN
Kepribadian
adalah pola perilaku, pemikiran, dan perasaan yang melekat pada diri seseorang
secara konsisten dalam segala situasi dan waktu. Meskipun kita cenderung
bertindak berbeda tergantung dengan siapa kita berbicara, ada kecenderungan
tertentu dalam perilaku dan pemikiran yang tetap sama tidak peduli situasi atau
siapapun orangnya[1].
Kepribadian
adalah pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian
diri seseorang terhadap lingkungan[2].
B.
FAKTOR
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN DAN TEORI TENTANG KEPRIBADIAN
Bayi
lahir dengan potensialis tertentu. Karakteristik fisik – seperti warna mata dan
warna rambut, bentuk tubuh, dan bentuk hidung seseorang – pada dasarnya
ditentukan pada saat konsepsi (pertemuan antara sel telur dan sperma).
Inteligensi dan kemampuan khusus tertentu, seperti bakat musik dan seni, dalam
beberapa hal juga tergantung pada hereditas. Dan muncul semakin banyak bukti
yang mungkin bersifat bawaan[3].
Teori
Tentang Kepribadian:
Meskipun
ada banyak teori tentang kepribadian, hanya ada empat teori yang dominan pada
abad ini. Salah satu teori kepribadian tertua adalah teori sifat. Orang Yunani
kuno mengelompokkan orang menjadi flegmatik
(tanpa emosi), kolerik (aktif dan
mudah marah), sanguinis (bahagia),
dan melankolis (depresif). LaHaye
(1971) berusaha memadukan temperamen ini ke dalam kerangka kerja Kristen,
tetapi pada umumnya para psikolog setuju bahwa kategori ini sudah tidak sesuai
lagi.
Sheldon
(1942) berpendapat bahwa kepribadian berkaitan dengan tipe tubuh. Ektomorf adalah orang yang kurus, rapuh,
malu-malu dan cendikiawan; endomorf adalah
orang yang lembut dan bulat, mudah bersosialisasi dan penuh perhatian; mesomorf adalah orang yang kuat, berotot
dan terkenal berani, agresif dan aktif. Kategori-kategori Sheldon dipandang
lebih bersifat klise oleh banyak psikolog, meskipun Tucker (1983) memberikan
bukti yang mendukung ide-ide Sheldon.
Allport
(1973) berpendapat bahwa ada tiga jenis sifat: sifat kardinal paling
mempengaruhi kepribadian; sifat sentral lebih umum tetapi tidak mencakup semua;
dan sifat sekunder yang lebih disukai dalam situasi tertentu.
Ada
teori yang mirip dengan teori sifat, yaitu teori konsep pribadi Kelly. Menurut
Kelly, orang menciptakan konsep diri mereka sendiri dalam kategori yang
bertentangan, seperti baik hati-jahat dan pandai-bodoh, yang kemudian mereka
gunakan untuk memahami orang lain dan menafsirkan peristiwa. Dalam situasi
khusus, beberapa konsep ini menjadi jauh lebih penting daripada konsep-konsep
lain. Jadi, sudut pandang subjektif orang itu menjadi penting semuanya.
Freud
(1990) memandang kepribadian sebagai masalah konflik di bawah sadar dan
tersembunyi antara id (dorongan dasar
di dalam) dan superego (hati nurani
yang di peroleh secara sosial). Perunding antara kedua unsur di bawah sadar ini
adalah ego atau aku. Konflik merupakan sesuatu yang bersifat sentral untuk
kepribadian, dan bisa ditangani dengan beberapa cara, termasuk mekanisme
pertahananhan diri. Freud berfokus pada pengaruh negatif yang tersembunyi yang
ia pandang sebagai hal terpenting bagi kepribadian seseorang.
Rogers
(1995) menyatakan bahwa orang-orang berada dalam proses menjadi, secara alamiah berkembang menuju keutuhan dan
pemahaman diri yang lebih besar. Kunci untuk proses menjadi itu adalah diterima
tanpa syarat[4].
C.
TEORI
YANG BERPUSAT PADA PRIBADI
Teori
Rogers tentang kepribadian, ia mengakui bahwa dorongan utama untuk pemikiran psikologisnya
adalah :
”pengalaman klinis yang terus-menerus
dengan individu-individu yang melihat dirinya atau sebagaimana dilihat oleh
orang-orang lain, membutuhkan pertolongan pribadi. Sejak tahun 1928, selama
jangka waktu yang sekarang sudah mendekati 30 tahun, saya telah mengunakan
waktu saya rata-rata 15 sampai 20 jam setiap minggu, kecuali selama hari libur,
untuk berusaha memahami dan memberi pertolongan terapeutik kepada
individu-individu ini ...Dari saat-saat ini, dan dari hubungan saya dengan orang-orang
ini, saya telah menemukan sebagian besar wawasan saya tentang makna terapi,
dinamika hubungan antarpribadi, dan struktur serta cara kerja kepribadian”
(1959), hlm. 188).
Ciri utama konseptualisasi dari
proses terapeutik ini adalah bahwa apabila klien mempersepsikan bahwa ahli
terapi memiliki “uncoditional positive regard” (penghargaan positif tanpa
syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan
internal (internal frame of reference) mereka, klien-klien makin lebih menyadari
perasaan dan pengalaman mereka yang sebenarnya dan konsep diri mereka menjadi
lebih selaras dengan seluruh pengalaman organisme (1959, hlm. 212-221). Menjadi
orang yang berfungsi sepenuhnya meliputi sifat-sifat seperti keterbukaan
terhadap pengalaman, tidak adanya sikap defensif, kesadaran yang cermat,
penghargaan-diri tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan orang-orang
lain.
Dalam tahun-tahun belakangan, Rogers
memandang proses terapi sebagai salah satu contoh wujud semua hubungan dan
komunikasi antarpribadi. Dalil utama dari teori tersebut dinyatakan Rogers
sebagai berikut:
Mengandaikan (a) kerelaan
minimal pada kedua belah pihak untuk mengadakan kontak; (b) kemampuan dan
kerelaan minimal pada masing-masing pihak untuk menerima komunikasi dari yang
lainnya; dan (c) mengandaikan bahwa kontak itu akan berlangsung selama jangka
waktu tertentu; kemudian hubungan selanjutnya dihipotesiskan sebagai tulus.
Semakin selaras pengalaman, kesadaran, dan komunikasi pada salah seorang
individu, maka semakin juga hubungan itu akan mengarah kepada komunikasi timbal
balik dengan kualitas keselarasan (kongruen) yang bertambah; mengarah kepada
pemahaman akan komunikasi yang lebih tepat pada kedua belah pihak; perbaikan
penyesuaian diri dan fungsi psikologis pada kedua belah pihak; kepuasan timbal
balik dalam hubungan itu (1961, hlm. 344)[5].
D.
STRUKTUR
KEPRIBADIAN
Walaupun
Rogers nampaknya tidak mementingkan konstruk-konstruk struktural, dan lebih
senang menaruh perhatian pada perubahan dan perkembangan kepribadian, namun ada
dua konstruk yang sangat penting dalam teorinya dan bahkan dapat dianggap
sebagai tempat berpijak bagi seluruh teorinya. Kedua konstruk tersebut adalah
organisme dan diri (self).
1. Organisme
Secara
psikologis, organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman.
Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam
kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah
“frame of reference” dari individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu
sendiri. “Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui
inferensi empatis dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna”
(Rogers, 1959, hlm. 210). Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada
keadaan-keadaan perangsangnya (kenyataan luar).
2. Diri (Self)
Sebagian
dari medan fenomenal lama kelamaan menjadi terpisah. Ini adalah diri. Diri atau konsep-diri merupakan:
Gestalt konseptual yang
terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang
sifat-sifat dari ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dan persepsi-persepsi
tentang hubungan-hubungan antara “diri subjek’ atau ‘diri objek’ dengan
orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang
melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestaltlah yang ada dalam kesadaran
meskipun tidak harus disadari. Gestalt tersebut bersifat lentur dan
berubah-ubah, suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas
spesifik (Rogers, 1959, hlm. 200).
Diri
merupakan salah satu konstruk sentral dalam teori Rogers, dan ia telah
memberikan suatu penjelasan yang menarik bagaimana ini terjadi.
Berbicara secara pribadi, saya
memulai karya saya dengan keyakinan yang mantap bahwa “diri” adalah suatu
istilah yang kabur, ambigu atau bermakna ganda, istilah yang tidak berarti
secara ilmiah, dan telah hilang dari kamus para psikolog bersama menghilangnya
para introspeksionis. Dari sebab itu, saya lambat menyadari bahwa apabila
klien-klien diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalah-masalah mereka dan
sikap-sikap mereka dalam istilah-istilah mereka sendiri, tanpa suatu bimbingan
atau interpretasi, ternyata mereka cenderung berbicara tentang diri...
Tampaknya jelas, ... bahwa diri merupakan suatu unsur penting dalam pengalaman
klien, dan aneh karena tujuannya adalah menjadi ‘diri-sejati’-nya (1959, hlm.
200-201).
Disamping
“diri” sebagaimana adanya (struktur diri), tetapi terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang
tentang dirinya[6].
E. MACAM-MACAM GANGGUAN KEPRIBADIAN
1. DSM-III
menggolongkan gangguan jiwa menurut gejala-gejala perilaku tertentu.
2. Gangguan
Kecemasan meliputi kecemasan merata (rasa cemas dan tegang yang ajek), gangguan
panik (secara mendadak menjadi sangat takut), fobia (takut pada benda situasi
tertentu yang tak masuk akal), dan gangguan obsetif-kompulsif (pikiran yang
bukan-bukan yang selalu menghantui, atau obsesif, yang digabung dengan
desakan-desakan, atau kompulsi, untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu).
3. Gangguan
afektif merupakan gangguan perasaan : depresi, mania, atau berganti-ganti kedua
perasaan tersebut, yang dinamakan gangguan manik-depresif.
4. Skisofrenia
pada dasarnya merupakan gangguan pikiran yang ditandai dengan adanya kesulitan menyaring
stimulus dan yang tak relevan, kekacauan persepsi, afeksi yang tidak wajar,
delusi dan halusinasi, dan pengasingan diri.
5. Gangguan
kepribadian antisosial bersifat impulsif, tidak begitu menunjukkan rasa bersalah, hanya mementingkan
dirinya sendiri, dan sering kali melanggar hukum.
6. Penggunaan
alkohol dan obat-obatan psikoaktif lainnya dapat menyebabkan ketergantungan
psikologis (dorongan menggunakan obat guna mengurangi kecemasan) dan
ketergantungan fisik (gejala-gejala makin kebal terhadap obat dan mengasingkan
diri)[7].
F.
JENIS
TERAPI HUMANISTIK
1.
Terapi yang Berpusat pada Klien (Client –
Centered Therapy):
Terapi
yang berpusat pada klien, yang dikembangkan oleh Carl Rogers, berdasarkan pada
asumsi bahwa klien merupakan pakar yang paling baik bagi dirinya sendiri dan
bahwa orang mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Tugas pakar terapi adalah
memudahkan proses pemecahan masalah – tidak mengajukan pertanyaan yang
menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan pertanyaan yang menyelidik,
membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Memang Rogers lebih
menyenangi istilah “fasilitator” ketimbang pakar terapi[8].
Dalam
terapi yang berpusat pada klien, pemberi terapi perlu bersikap jujur, tulus,
terbuka, dan menerima klien sepenuhnya. Menurut Rogers, potensi pertumbuhan
seseorang dilepaskan dalam hubungan di mana orang yang membantu mengalami dan
mengkomunikasikan kenyataan, perhatian, dan pemahaman yang sangat sensitif dan
tidak menghakimi. Pendekatan yang berpusat pada klien bisa diterapkan dalam
hubungan apapun dimana orang-orang ingin memahami dan dipahami dan bersedia
menyatakan diri mereka sendiri sejauh tertentu[9].
2.
Terapi Kelompok
Banyak
masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang berhubungan dengan orang lain,
termasuk perasaan penutupan diri/isolasi, penolakan dan kesepian dan tidak
sanggupnya menjalin hubungan yang bermakna. Terapi kelompok memberi kesempatan
bagi para klien untuk memecahkan masalahnya dengan kehadiran orang lain, untuk
mengamati bagaimana reaksi orang atas perilaku mereka, dan mencobakan metode
tanggapan yang baru apabila metode lama terbukti tidak berfungsi.
Terapi
kelompok mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan terapi individual.
Terapi ini dapat menghemat waktu karena satu pakar terapi dapat menolong
beberapa orang sekaligus; orang-orang dapat mendapatkan perasaan aman dan
dukungan apabila melihat orang lain mempunyai masalah yang serupa, bahkan
mungkin masalah yang lebih parah; orang-orang dapat belajar secara “vicarious”
(=belajar dengan mengamati orang lain) dengan melihat bagaimana orang
berperilaku, dan mereka dapat mengkaji sikap dan reaksi melalui interaksi
dengan berbagai macam orang, tidak hanya dengan pakar terapi.
3. Kelompok
Pertemuan (Encounter Groups)
Selama
20 tahun terakhir ini, terapi kelompok telah berkembang dari metode pemecahan
masalah emosional menjadi metode yang populer yang mengajarkan cara
berhubungan/bergaul dengan orang lain. Kelompok pertemuan, juga dikenal sebagai kelompok pelatihan kepekaan
(sensitivity tarining groups, atau disingkat T-groups) terdiri atas 12 sampai
20 orang yang dapat bertemu hanya untuk satu pertemuan akhir pekan yang
intensif atau untuk beberapa pertemuan dalam waktu beberapa bulan. Pertemuan
kelompok ini diupayakan dapat menelurkan pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana sebaiknya berperilaku dalam interaksi antarpribadi. Para anggota
kelompok diharuskan mengungkapkan sikap dan perasaan yang biasanya tidak
dilakukan di depan umum. Pemimpin kelompok (atau fasilitator, seperti lazimnya
mereka dikenal karena pekerjaannya memang bukan memimpin) mendorong peserta untuk
mengkaji perasaan dan motif mereka serta perasaan dan motif anggota kelompok
yang lain. Tujuannya adalah merangsang terjadinya pertukaran pengalaman di
antara para anggota secara terbuka dan jujur tanpa terhambat oleh upaya
beladiri atau defensif.
4. Terapi
Keluarga
Terapi
keluarga merupakan suatu bentuk khusus terapi kelompok. Kelompoknya terdiri
atas suami dan isteri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu dua
pakar terapi (biasanya seorang wanita dan seorang pria). Berdasarkan asumsi
bahwa masalah individu menunjukkan perilaku malasuai yang lebih umum di dalam
keluarga tersebut, terapi tersebut diarahkan untuk membantu anggota keluarga
menjelaskan dan mengutarakan perasaan mereka antara yang satu dengan yang
lainnya, mengembangkan pemahaman antarpribadi yang lebih besar, dan melakukan
cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan satu sama lain, dan memecahkan
masalah umum mereka[10].
G.
IMPLIKASI
CLIENT – CENTERED THERAPY DALAM GEREJA
Banyak
gereja mengunakan kelompok kecil, seperti pemahaman Alkitab di rumah-rumah atau
kelas sekolah Minggu, di mana interaksi sangat diinginkan. Ide-ide khusus yang
disarankan oleh Rogers mungkin bisa dipakai untuk meningkatkan interaksi. Sikap
positif yang tanpa syarat sangat membantu. Refleksi juga bisa digunakan, yang
menurut paham perilaku bisa dipahami sebagai peneguhan, tetapi oleh Rogerian
dipandang sebagai sarana untuk klarifikasi dan menyampaikan pesan bahwa
pemahaman yang nyata telah terjadi. Pemimpin bisa merefleksikan perasaan
terselubung yang dinyatakan atau bahkan juga implikasi teologis yang lebih
halus dalam pernyataan klien dengan cara yang bisa mendorong orang lain bicara.
Refleksi
merupakan teknik yang baik untuk membantu orang lain saling mendengar secara
sungguh-sungguh, dan bisa diterapkan dalam kebaktian kesaksian, kelompok kecil
dan penginjilan pribadi. Pendeta atau anggota dewan gereja yang menggunakan refleksi
dan klarifikasi mungkin bisa meredakan situasi yang bisa menimbulkan ledakan.
Waktu yang digunakan untuk menyatakan ulang posisi bisa memberikan kesempatan
kepada orang-orang untuk berfikir sebelum bereaksi, dan menghapus
kesalahpahaman atau komunikasi yang salah yang mungkin terjadi[11].
Ada
beberapa bahaya dalam kelompok kecil yang perlu dikenali dalam proses
terapeutik seperti yang dilakukan oleh Rogers. Bahaya tersebut diminimalkan
jika panduan tertentu diikuti:
1. Hindari
pelabelan perilaku dan orang-orang. Pelabelan mengubah persepsi seseorang
tentang orang lain dan diri mereka sendiri dan mungkin menghambat pengungkapan
diri dengan jujur.
2. Buatlah
partisipasi verbal sebagai kegiatan yang sukarela bagi anggota kelompok. Jangan
memaksa orang lain memberi pendapat tentang satu topik tertentu.
3. Pastikan
kelompok memiliki pemimpin yang baik, yang mampu bertanggung jawab jika situasi
lepas kendali.
4. Jagalah
kerahasiaan. Ekspresi bebas dalam kelompok harus didorong, tetapi apa yang
dibahas tidak boleh keluar dari kelompok. Hal ini membutuhkan kedewasaan sikap
anggota.
5. Hindari
sikap mempermalukan atau menjadikan seseorang sebagai pusat perhatian.
Bersikaplah ramah dalam kejujuran.
6. Hanya
anggota yang emosinya seimbang yang boleh dilibatkan. Orang yang memiliki
masalah emosional yang berat membutuhkan konseling profesional dan mungkin
konseling kelompok dengan orang-orang lain yang terganggu emosinya.
7. Jagalah
dasar kerohanian kelompok. Buatlah pemahaman Alkitab dan doa sebagai kegiatan
rutin[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sesuai
dengan makalah “Self Centre” penulis menyimpulkan bahwa Diri
adalah gambaran cara seseorang bertingkah laku terhadap lingkungan sekitarnya,
yang terlihat dari kebiasaan berfikir, sikap dan minat, serta pandangan
hidupnya yang khas di dalam dirinya yang
menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang membedakan individu yang satu
dengan yang lainnya.
B.
Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
S.
Hall, Calvin, & Gardner Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik
Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta: KANISIUS, 1993).
D.
Meier, M. D, Paul, Pengantar Psikologi
& Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004).
L.
Atkinson, Rita, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999).
[1] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 69
[2]
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 145
[3]
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 146
[4] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 69-70
[5] Calvin S. Hall & Gardner
Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi
Kepribadian 2 Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta:
KANISIUS, 1993). Hal. 126-129
[6]
Calvin S. Hall & Gardner
Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi
Kepribadian 2 Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta:
KANISIUS, 1993). Hal. 132-135
[7]
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 296
[8]
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 322
[10]
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I,
Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 324-327
[11]
Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 179
[12]
Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen
(Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 206
Komentar
Posting Komentar