Makalah Psikologi Self Centre

MAKALAH
SELF CENTRE











                            NAMA                                : Rapi Antoni Sirait
                            NIM                                     : 201502056
                            SEMESTER                       : IV (empat)
                            DOSEN PENGAMPU      : Pst. David B. Hasibuan, MA




STT IKSM SANTOSA ASIH JAKARTA TIMUR
TAHUN AJARAN 2016-2017
BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH

Karena dalam kehidupan manusia sebagai individu ataupun makhluk sosial, kepribadian selalu mengalami warna-warni kehidupan. Ada kalanya senang, tenteram, dan gembira. Akan tetapi pengalaman hidup membuktikan bahwa manusia juga kadang-kadang mengalami gangguan Kepribadian dalam menjalani kehidupan, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa manusia mengalami proses perkembangan kehidupan dalam perjalan hidup.
Kepribadian sangat mencerminkan perilaku seseorang. Kita bisa tahu apa yang sedang diperbuat seseorang dalam situasi tertentu berdasarkan pengalaman diri kita sendiri dan juga dalam mengamati pengaruh dari lingkungan sekitar kita. Hal ini dikarenakan dalam berbagai faktor diri setiap orang yang  unik, khas dan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, di butuhkan pedoman untuk memahami dan menjelaskan Kepribadian diri sendiri dan orang lain. Kita harus memahami definisi kepribadian serta bagaimana kepribadian itu terbentuk. Dengan demikian di butuhkan teori kepribadian agar gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian setiap individu dapat di pelajari dan juga untuk dihindari.
Mempelajari kepribadian merupakan hal yang menarik karena perkembangan pengetahuan mengenai pribadi dengan sendirinya akan bertambah, ini disebabkan oleh faktor pengalaman maupun pendidikan. Hal ini terjadi karena sebenarnya manusia adalah tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang menyertai setiap langkah dalam hidupnya mengalami tahap-demi tahap dalam proses perkembangan di dalam diri setiap orang. Dalam pembahasan ini, khusus  akan membahas mengenai Self Centre (yang berpusat pada pribadi) berdasarkan teori Rogers.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Apa Pengertian Kepribadian?
2.    Apa Faktor Pembentukan Kepribadian dan Teori Tentang Kepribadian?
3.    Apa Teori yang berpusat pada Pribadi itu?
4.    Apa saja Struktur Kepribadian itu?
5.    Apa  Macam-macam Gangguan Kepribadian itu?
6.    Apa Jenis Terapi Humanistik itu?
7.    Apa Implikasi Client – Centered Therapy dalam Gereja?

C.   TUJUAN PENULISAN
1.    Untuk mengetahui Pengertian Kepribadian dan Teori Tentang Kepribadian
2.    Untuk mengetahui Pembentukan Kepribadian
3.    Untuk mengetahui Teori yang Berpusat pada Pribadi
4.    Untuk mengetahui Struktur Kepribadian
5.    Untuk mengetahui Macam-macam Gangguan Kepribadian
6.    Untuk mengetahui Jenis Terapi Humanistik
7.    Untuk mengetahui Implikasi Client – Centered Therapy dalam Gereja














BAB II

PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN KEPRIBADIAN
Kepribadian adalah pola perilaku, pemikiran, dan perasaan yang melekat pada diri seseorang secara konsisten dalam segala situasi dan waktu. Meskipun kita cenderung bertindak berbeda tergantung dengan siapa kita berbicara, ada kecenderungan tertentu dalam perilaku dan pemikiran yang tetap sama tidak peduli situasi atau siapapun orangnya[1].
Kepribadian adalah pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan[2].
B.   FAKTOR PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN DAN TEORI TENTANG KEPRIBADIAN
Bayi lahir dengan potensialis tertentu. Karakteristik fisik – seperti warna mata dan warna rambut, bentuk tubuh, dan bentuk hidung seseorang – pada dasarnya ditentukan pada saat konsepsi (pertemuan antara sel telur dan sperma). Inteligensi dan kemampuan khusus tertentu, seperti bakat musik dan seni, dalam beberapa hal juga tergantung pada hereditas. Dan muncul semakin banyak bukti yang mungkin bersifat bawaan[3].
Teori Tentang Kepribadian:
Meskipun ada banyak teori tentang kepribadian, hanya ada empat teori yang dominan pada abad ini. Salah satu teori kepribadian tertua adalah teori sifat. Orang Yunani kuno mengelompokkan orang menjadi flegmatik (tanpa emosi), kolerik (aktif dan mudah marah), sanguinis (bahagia), dan melankolis (depresif). LaHaye (1971) berusaha memadukan temperamen ini ke dalam kerangka kerja Kristen, tetapi pada umumnya para psikolog setuju bahwa kategori ini sudah tidak sesuai lagi.
Sheldon (1942) berpendapat bahwa kepribadian berkaitan dengan tipe tubuh. Ektomorf adalah orang yang kurus, rapuh, malu-malu dan cendikiawan; endomorf adalah orang yang lembut dan bulat, mudah bersosialisasi dan penuh perhatian; mesomorf adalah orang yang kuat, berotot dan terkenal berani, agresif dan aktif. Kategori-kategori Sheldon dipandang lebih bersifat klise oleh banyak psikolog, meskipun Tucker (1983) memberikan bukti yang mendukung ide-ide Sheldon.
Allport (1973) berpendapat bahwa ada tiga jenis sifat: sifat kardinal paling mempengaruhi kepribadian; sifat sentral lebih umum tetapi tidak mencakup semua; dan sifat sekunder yang lebih disukai dalam situasi tertentu.
Ada teori yang mirip dengan teori sifat, yaitu teori konsep pribadi Kelly. Menurut Kelly, orang menciptakan konsep diri mereka sendiri dalam kategori yang bertentangan, seperti baik hati-jahat dan pandai-bodoh, yang kemudian mereka gunakan untuk memahami orang lain dan menafsirkan peristiwa. Dalam situasi khusus, beberapa konsep ini menjadi jauh lebih penting daripada konsep-konsep lain. Jadi, sudut pandang subjektif orang itu menjadi penting semuanya.
Freud (1990) memandang kepribadian sebagai masalah konflik di bawah sadar dan tersembunyi antara id (dorongan dasar di dalam) dan superego (hati nurani yang di peroleh secara sosial). Perunding antara kedua unsur di bawah sadar ini adalah ego atau aku. Konflik merupakan sesuatu yang bersifat sentral untuk kepribadian, dan bisa ditangani dengan beberapa cara, termasuk mekanisme pertahananhan diri. Freud berfokus pada pengaruh negatif yang tersembunyi yang ia pandang sebagai hal terpenting bagi kepribadian seseorang.
Rogers (1995) menyatakan bahwa orang-orang berada dalam proses menjadi, secara alamiah berkembang menuju keutuhan dan pemahaman diri yang lebih besar. Kunci untuk proses menjadi itu adalah diterima tanpa syarat[4].

C.   TEORI YANG BERPUSAT PADA PRIBADI
Teori Rogers tentang kepribadian, ia mengakui bahwa dorongan utama untuk pemikiran psikologisnya adalah :
”pengalaman klinis yang terus-menerus dengan individu-individu yang melihat dirinya atau sebagaimana dilihat oleh orang-orang lain, membutuhkan pertolongan pribadi. Sejak tahun 1928, selama jangka waktu yang sekarang sudah mendekati 30 tahun, saya telah mengunakan waktu saya rata-rata 15 sampai 20 jam setiap minggu, kecuali selama hari libur, untuk berusaha memahami dan memberi pertolongan terapeutik kepada individu-individu ini ...Dari saat-saat ini, dan dari hubungan saya dengan orang-orang ini, saya telah menemukan sebagian besar wawasan saya tentang makna terapi, dinamika hubungan antarpribadi, dan struktur serta cara kerja kepribadian” (1959), hlm. 188).
            Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila klien mempersepsikan bahwa ahli terapi memiliki “uncoditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, klien-klien makin lebih menyadari perasaan dan pengalaman mereka yang sebenarnya dan konsep diri mereka menjadi lebih selaras dengan seluruh pengalaman organisme (1959, hlm. 212-221). Menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya meliputi sifat-sifat seperti keterbukaan terhadap pengalaman, tidak adanya sikap defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan-diri tanpa syarat, dan hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.
            Dalam tahun-tahun belakangan, Rogers memandang proses terapi sebagai salah satu contoh wujud semua hubungan dan komunikasi antarpribadi. Dalil utama dari teori tersebut dinyatakan Rogers sebagai berikut:
Mengandaikan (a) kerelaan minimal pada kedua belah pihak untuk mengadakan kontak; (b) kemampuan dan kerelaan minimal pada masing-masing pihak untuk menerima komunikasi dari yang lainnya; dan (c) mengandaikan bahwa kontak itu akan berlangsung selama jangka waktu tertentu; kemudian hubungan selanjutnya dihipotesiskan sebagai tulus. Semakin selaras pengalaman, kesadaran, dan komunikasi pada salah seorang individu, maka semakin juga hubungan itu akan mengarah kepada komunikasi timbal balik dengan kualitas keselarasan (kongruen) yang bertambah; mengarah kepada pemahaman akan komunikasi yang lebih tepat pada kedua belah pihak; perbaikan penyesuaian diri dan fungsi psikologis pada kedua belah pihak; kepuasan timbal balik dalam hubungan itu (1961, hlm. 344)[5].
D.   STRUKTUR KEPRIBADIAN

Walaupun Rogers nampaknya tidak mementingkan konstruk-konstruk struktural, dan lebih senang menaruh perhatian pada perubahan dan perkembangan kepribadian, namun ada dua konstruk yang sangat penting dalam teorinya dan bahkan dapat dianggap sebagai tempat berpijak bagi seluruh teorinya. Kedua konstruk tersebut adalah organisme dan diri (self).
1.    Organisme
Secara psikologis, organisme adalah lokus atau tempat dari seluruh pengalaman. Pengalaman meliputi segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam kesadaran organisme pada setiap saat. Keseluruhan pengalaman ini merupakan medan fenomenal. Medan fenomenal adalah “frame of reference” dari individu  yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. “Medan fenomenal tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empatis dan selanjutnya tidak pernah dapat diketahui dengan sempurna” (Rogers, 1959, hlm. 210). Bagaimana individu bertingkah laku tergantung pada keadaan-keadaan perangsangnya (kenyataan luar).
2.    Diri (Self)
Sebagian dari medan fenomenal lama kelamaan menjadi terpisah. Ini adalah diri. Diri atau konsep-diri merupakan:
Gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ‘diri subjek’ atau ‘diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antara “diri subjek’ atau ‘diri objek’ dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Gestaltlah yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Gestalt tersebut bersifat lentur dan berubah-ubah, suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas spesifik (Rogers, 1959, hlm. 200).
Diri merupakan salah satu konstruk sentral dalam teori Rogers, dan ia telah memberikan suatu penjelasan yang menarik bagaimana ini terjadi.
Berbicara secara pribadi, saya memulai karya saya dengan keyakinan yang mantap bahwa “diri” adalah suatu istilah yang kabur, ambigu atau bermakna ganda, istilah yang tidak berarti secara ilmiah, dan telah hilang dari kamus para psikolog bersama menghilangnya para introspeksionis. Dari sebab itu, saya lambat menyadari bahwa apabila klien-klien diberi kesempatan untuk mengungkapkan masalah-masalah mereka dan sikap-sikap mereka dalam istilah-istilah mereka sendiri, tanpa suatu bimbingan atau interpretasi, ternyata mereka cenderung berbicara tentang diri... Tampaknya jelas, ... bahwa diri  merupakan suatu unsur penting dalam pengalaman klien, dan aneh karena tujuannya adalah menjadi ‘diri-sejati’-nya (1959, hlm. 200-201).
Disamping “diri” sebagaimana adanya (struktur diri), tetapi terdapat suatu diri ideal, yakni apa yang diinginkan orang tentang dirinya[6].
E.   MACAM-MACAM GANGGUAN KEPRIBADIAN

1.    DSM-III menggolongkan gangguan jiwa menurut gejala-gejala perilaku tertentu.
2.    Gangguan Kecemasan meliputi kecemasan merata (rasa cemas dan tegang yang ajek), gangguan panik (secara mendadak menjadi sangat takut), fobia (takut pada benda situasi tertentu yang tak masuk akal), dan gangguan obsetif-kompulsif (pikiran yang bukan-bukan yang selalu menghantui, atau obsesif, yang digabung dengan desakan-desakan, atau kompulsi, untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu).
3.    Gangguan afektif merupakan gangguan perasaan : depresi, mania, atau berganti-ganti kedua perasaan tersebut, yang dinamakan gangguan manik-depresif.
4.    Skisofrenia pada dasarnya merupakan gangguan pikiran yang ditandai dengan adanya kesulitan menyaring stimulus dan yang tak relevan, kekacauan persepsi, afeksi yang tidak wajar, delusi dan halusinasi, dan pengasingan diri.
5.    Gangguan kepribadian antisosial bersifat impulsif, tidak begitu  menunjukkan rasa bersalah, hanya mementingkan dirinya sendiri, dan sering kali melanggar hukum.
6.    Penggunaan alkohol dan obat-obatan psikoaktif lainnya dapat menyebabkan ketergantungan psikologis (dorongan menggunakan obat guna mengurangi kecemasan) dan ketergantungan fisik (gejala-gejala makin kebal terhadap obat dan mengasingkan diri)[7].


F.    JENIS TERAPI HUMANISTIK

1.    Terapi yang Berpusat pada Klien (Client – Centered Therapy):
Terapi yang berpusat pada klien, yang dikembangkan oleh Carl Rogers, berdasarkan pada asumsi bahwa klien merupakan pakar yang paling baik bagi dirinya sendiri dan bahwa orang mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Tugas pakar terapi adalah memudahkan proses pemecahan masalah – tidak mengajukan pertanyaan yang menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan pertanyaan yang menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Memang Rogers lebih menyenangi istilah “fasilitator” ketimbang pakar terapi[8].
Dalam terapi yang berpusat pada klien, pemberi terapi perlu bersikap jujur, tulus, terbuka, dan menerima klien sepenuhnya. Menurut Rogers, potensi pertumbuhan seseorang dilepaskan dalam hubungan di mana orang yang membantu mengalami dan mengkomunikasikan kenyataan, perhatian, dan pemahaman yang sangat sensitif dan tidak menghakimi. Pendekatan yang berpusat pada klien bisa diterapkan dalam hubungan apapun dimana orang-orang ingin memahami dan dipahami dan bersedia menyatakan diri mereka sendiri sejauh tertentu[9].
2.    Terapi Kelompok
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang berhubungan dengan orang lain, termasuk perasaan penutupan diri/isolasi, penolakan dan kesepian dan tidak sanggupnya menjalin hubungan yang bermakna. Terapi kelompok memberi kesempatan bagi para klien untuk memecahkan masalahnya dengan kehadiran orang lain, untuk mengamati bagaimana reaksi orang atas perilaku mereka, dan mencobakan metode tanggapan yang baru apabila metode lama terbukti tidak berfungsi.
Terapi kelompok mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan terapi individual. Terapi ini dapat menghemat waktu karena satu pakar terapi dapat menolong beberapa orang sekaligus; orang-orang dapat mendapatkan perasaan aman dan dukungan apabila melihat orang lain mempunyai masalah yang serupa, bahkan mungkin masalah yang lebih parah; orang-orang dapat belajar secara “vicarious” (=belajar dengan mengamati orang lain) dengan melihat bagaimana orang berperilaku, dan mereka dapat mengkaji sikap dan reaksi melalui interaksi dengan berbagai macam orang, tidak hanya dengan pakar terapi.
3.    Kelompok Pertemuan (Encounter Groups)
Selama 20 tahun terakhir ini, terapi kelompok telah berkembang dari metode pemecahan masalah emosional menjadi metode yang populer yang mengajarkan cara berhubungan/bergaul dengan orang lain. Kelompok pertemuan, juga  dikenal sebagai kelompok pelatihan kepekaan (sensitivity tarining groups, atau disingkat T-groups) terdiri atas 12 sampai 20 orang yang dapat bertemu hanya untuk satu pertemuan akhir pekan yang intensif atau untuk beberapa pertemuan dalam waktu beberapa bulan. Pertemuan kelompok ini diupayakan dapat menelurkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana sebaiknya berperilaku dalam interaksi antarpribadi. Para anggota kelompok diharuskan mengungkapkan sikap dan perasaan yang biasanya tidak dilakukan di depan umum. Pemimpin kelompok (atau fasilitator, seperti lazimnya mereka dikenal karena pekerjaannya memang bukan memimpin) mendorong peserta untuk mengkaji perasaan dan motif mereka serta perasaan dan motif anggota kelompok yang lain. Tujuannya adalah merangsang terjadinya pertukaran pengalaman di antara para anggota secara terbuka dan jujur tanpa terhambat oleh upaya beladiri atau defensif.
4.    Terapi Keluarga
Terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami dan isteri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu dua pakar terapi (biasanya seorang wanita dan seorang pria). Berdasarkan asumsi bahwa masalah individu menunjukkan perilaku malasuai yang lebih umum di dalam keluarga tersebut, terapi tersebut diarahkan untuk membantu anggota keluarga menjelaskan dan mengutarakan perasaan mereka antara yang satu dengan yang lainnya, mengembangkan pemahaman antarpribadi yang lebih besar, dan melakukan cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan satu sama lain, dan memecahkan masalah umum mereka[10].
G.   IMPLIKASI CLIENT – CENTERED THERAPY DALAM GEREJA
Banyak gereja mengunakan kelompok kecil, seperti pemahaman Alkitab di rumah-rumah atau kelas sekolah Minggu, di mana interaksi sangat diinginkan. Ide-ide khusus yang disarankan oleh Rogers mungkin bisa dipakai untuk meningkatkan interaksi. Sikap positif yang tanpa syarat sangat membantu. Refleksi juga bisa digunakan, yang menurut paham perilaku bisa dipahami sebagai peneguhan, tetapi oleh Rogerian dipandang sebagai sarana untuk klarifikasi dan menyampaikan pesan bahwa pemahaman yang nyata telah terjadi. Pemimpin bisa merefleksikan perasaan terselubung yang dinyatakan atau bahkan juga implikasi teologis yang lebih halus dalam pernyataan klien dengan cara yang bisa mendorong orang lain bicara.
Refleksi merupakan teknik yang baik untuk membantu orang lain saling mendengar secara sungguh-sungguh, dan bisa diterapkan dalam kebaktian kesaksian, kelompok kecil dan penginjilan pribadi. Pendeta atau anggota dewan gereja yang menggunakan refleksi dan klarifikasi mungkin bisa meredakan situasi yang bisa menimbulkan ledakan. Waktu yang digunakan untuk menyatakan ulang posisi bisa memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk berfikir sebelum bereaksi, dan menghapus kesalahpahaman atau komunikasi yang salah yang mungkin terjadi[11].
Ada beberapa bahaya dalam kelompok kecil yang perlu dikenali dalam proses terapeutik seperti yang dilakukan oleh Rogers. Bahaya tersebut diminimalkan jika panduan tertentu diikuti:
1.    Hindari pelabelan perilaku dan orang-orang. Pelabelan mengubah persepsi seseorang tentang orang lain dan diri mereka sendiri dan mungkin menghambat pengungkapan diri dengan jujur.
2.    Buatlah partisipasi verbal sebagai kegiatan yang sukarela bagi anggota kelompok. Jangan memaksa orang lain memberi pendapat tentang satu topik tertentu.
3.    Pastikan kelompok memiliki pemimpin yang baik, yang mampu bertanggung jawab jika situasi lepas kendali.
4.    Jagalah kerahasiaan. Ekspresi bebas dalam kelompok harus didorong, tetapi apa yang dibahas tidak boleh keluar dari kelompok. Hal ini membutuhkan kedewasaan sikap anggota.
5.    Hindari sikap mempermalukan atau menjadikan seseorang sebagai pusat perhatian. Bersikaplah ramah dalam kejujuran.
6.    Hanya anggota yang emosinya seimbang yang boleh dilibatkan. Orang yang memiliki masalah emosional yang berat membutuhkan konseling profesional dan mungkin konseling kelompok dengan orang-orang lain yang terganggu emosinya.
7.    Jagalah dasar kerohanian kelompok. Buatlah pemahaman Alkitab dan doa sebagai kegiatan rutin[12]








BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sesuai dengan makalah “Self Centre” penulis menyimpulkan bahwa Diri adalah gambaran cara seseorang bertingkah laku terhadap lingkungan sekitarnya, yang terlihat dari kebiasaan berfikir, sikap dan minat, serta pandangan hidupnya yang khas di dalam dirinya yang menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang membedakan individu yang satu dengan yang lainnya.
B.   Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.












DAFTAR PUSTAKA
S. Hall, Calvin, & Gardner Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta: KANISIUS, 1993).
D. Meier, M. D, Paul, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004).
L. Atkinson, Rita, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999).






[1] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 69
[2] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 145
[3] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 146
[4] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 69-70
[5] Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta: KANISIUS, 1993). Hal. 126-129
[6] Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, editor: Dr. A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologis (Yogyakarta: KANISIUS, 1993). Hal. 132-135
[7] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 296
[8] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 322
[9] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 178
[10] Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi I, Edisi Kedelapan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999). Hal. 324-327
[11] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 179
[12] Paul D. Meier, M. D, Pengantar Psikologi & Konseling Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2004). Hal. 206

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Etika Kristen

MAKALAH SEJARAH GEREJA ASIA

Ringkasan Buku Teologi Dasar I