Makalah Teori Belajar Konstruktivisme


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksikanya.[1]
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai  pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.
Belajar menurut  konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata – kata mereka sendiri.[2]
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Dalam hubungannya dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a)    Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b)   Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
c)    Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d)   Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
                                                                                                      
2.    Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a.    Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembangan belajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
b.    Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
Pada umumnya Pendekatan konstruktivis sosial (social constructivist approach) menekankan konteks sosial dalam belajar dan bahwa pengetahuan dibangun serta dikonstruksikan secara bersama-sama. Keterlibatan dengan orang lain akan menciptakan kesempatan bagi siswa-siswa untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka, sebagaimana mereka terbuka pada pemikiran orang lain dan berpartisipasi dalam menciptakan pemahaman bersama. Dalam cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme yang penting untuk perkembangan pemikiran siswa-siswa. [3]
Teori konstruktivis sosial Vygotsky sangat relevan untuk pembahasan ini. Model Vygotsky adalah seorang anak yang secara sosial dimasukkan dalam konteks sosiohistoris. Peralihan dari Piaget ke Vygotsky merupakan peralihan konseptual dari individual menuju kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis kognitif Piaget, siswa membangun pengetahuan melalui transformasi, organisasi, serta reorganisasi pengetahuan dan informasi sebelumnya. Pendekatan konstruktivis sosial Vygotsky menekankan bahwa siswa-siswa membangun pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur tempat dimana siswa itu tinggal, yang berhubungan dengan bahasa, keyakinan, dan keterampilan.[4]
Piaget menekankan bahwa Guru harus memberikan dukungan bagi siswa-siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan pemahaman. Vygotsky menekankan bahwa Guru harus menciptakan banyak peluang bagi siswa-siswa untuk belajar, dengan membangun pengetahuan secara bersama-sama, baik dengan Guru maupun teman-teman sebaya. Dalam Model Piaget dan Vygotsky, guru lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing daripada sebagai pemimpin dan pembentuk pembelajaran anak-anak.[5]
Dalam sebuah analisis pendekatan konstruktivis sosial, seorang guru digambarkan sebagai orang yang tertarik untuk memperhatikan pembelajaran melalui kacamata anak-anak. Analisis yang sama juga memperhatikan karakteristik kelas konstruktivis sosial ini:
·         Tujuan kelas yang utama adalah pembangunan makna yang kolaboratif.
·         Guru memantau perspektif, pemikiran, dan perasaan siswa.
·         Guru dan siswa sama-sama belajar dan mengajar.
·         Interaksi sosial menyebar ke seluruh kelas.
·         Kurikulum dan materi fisik kelas mencerminkan minat siswa dan digabung dengan kultur mereka.
Upaya yang telah dilakukan untuk menggabungkan pembelajaran yang kolaboratif dengan teknologi di dalam kelas semakin banyak. Sebagai contoh, sebuah program, Computer-Supported Collaborative Learning (CSCL), berusaha untuk meningkatkan interaksi teman sebaya dan konstruksi pengetahuan bersama melalui teknologi.[6]
B.     Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1.      Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.      Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa
3.       Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.      Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.      Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.      Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.       Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.      Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9.      Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10.  Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses  pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11.  Menekankan bagaimana siswa belajar
12.  Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13.  Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14.  Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15.  Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16.  Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.[7]
C.     Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparkan tentang penerapan di kelas.
1.      Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.      Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3.      Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4.      Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.
5.      Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6.      Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.[8]


Mencapai Tujuan Belajar Dengan Pendekatan Konstruktivis Sosial     
1.      Pendekatan Konstruktivis Sosial Untuk Pengajaran: Membandingkan pendekatan konstruktivis sosial dengan pendekatan konstruktivis yang lain.
·         Konstruktivisme Sosial dalam Konteks Konstruktivis yang lebih Luas
Teori Piaget dan Vygotsky adalah teori konstruktivis. Teori Konstruktivis kognitif, sementara teori Vygotsky untuk pengajaran adalah menetapkan kesempatan bagi para siswa untuk belajar bersama guru dan teman sebaya dalam membangun pengetahuan dan pemahaman. Dalam model Piaget dan Vygotsky, Guru adalah fasilitator, bukan pemimpin. Perbedaan antara pendekatan konstruktivis kognitif dan sosial tidak selalu jelas. Semua pendekatan konstruktivis sosial menekankan bahwa faktor sosial memberikan kontribusi untuk pembangunan pengetahuan dan pemahaman siswa-siswa.
·         Situated Cognition
Situated Cognition adalah ide bahwa pemikiran ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran individu.
2.      Guru dan Teman Sebaya Sebagai Kontributor  Gabungan Untuk Pembelajaran Siswa: Menjelaskan bagaimana guru dan teman sebaya bisa bersama-sama memberikan kontribusi untuk pembelajaran anak-anak.
·         Scaffolding (Sistem Dukungan)
Scaffolding adalah teknik penyediaan tingkat dukungan yang berubah-ubah dalam sesi pengajaran, dengan individu yang lebih terampil – seorang guru atau teman sebaya yang lebih pandai – yang memberikan bimbingan agar sesuai dengan prestasi siswa saat ini.
·         Masa Pembelajaran Kognitif
Masa pembelajaran Kognitif melibatkan seorang pemula dan seorang ahli, yang memperluas serta mendukung pemahaman pemula dan penggunaan keterampilan.
·         Tutorial
Tutorial melibatkan masa pembelajaran kognitif antara seorang ahli dan seorang pemula. Tutorial bisa terjadi antara seorang dewasa dan seorang anak atau seorang anak yang lebih terampil dan seorang anak yang kurang terampil. Tutorial individual sangatlah efektif. Pembantu kelas, sukarelawan, dan mentor bisa berfungsi sebagai tutor untuk mendukung pembelajaran kelas dan guru. Reading Recovery dan Success for All merupakan contoh program tutorial yang efektif. Dalam banyak kasus, siswa-siswa mendapatkan lebih banyak manfaat dari tutorial lintas usia daripada tutorial dalam usia yang sama. Tutorial bisa memberikan manfaat baik untuk tutor maupun untuk siswa.
·         Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif terjadi ketika siswa-siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar. Para peneliti menemukan bahwa pembelajaran kooperatif bisa menjadi strategi efektif untuk meningkatkan prestasi siswa-siswa, terutama ketika tujuan kelompok dan tanggung jawab individual telah ditentukan. Pembelajaran kooperatif sering meningkatkan motivasi intrinsik, mendorong interdependensi siswa, dan memajukan pemahaman yang mendalam. Pendekatan pembelajaran kooperatif meliputi STAD (Student – Teams – Achievement Division), kelas mozaik (I dan II), belajar bersama, investigasi kelompok, dan penulisan kooperatif.
Pendekatan pembelajaran kooperatif biasanya merekomendasikan pengelompokan heterogen dengan keberagaman dalam kemampuan, etnisitas, status sosial ekonomi, dan gender. Menciptakan komunitas yang kooperatif melibatkan pengembangan interdependensi yang positif pada sejumlah level: satu kelompok kecil di dalam kelas sebagai satu keseluruhan, antara kelas, seluruh sekolah, antara orang tua dan sekolah, serta antara sekolah dan lingkungan sekitar. Pembelajaran kooperatif memiliki sejumlah kelebihan, tetapi juga memiliki beberapa kekurangan dalam penggunaannya.
3.      Menyusun Tugas Kelompok Kecil: Membuat keputusan yang efektif dalam menstrukturkan tugas kelompok kecil.
·         Membuat Kelompok
Dua strategi dalam membuat kelompok kecil adalah dengan melibatkan anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen dan untuk memiliki keanggotaan kelompok yang mencerminkan heterogenitas etnik, sosial ekonomi, dan gender.
·         Keterampilan Membangun Tim
            Menstrukturkan kerja kelompok kecil juga melibatkan perhatian untuk ketererampilan membangun tim. Satu strategi yang bagus adalah dengan menghabiskan beberapa minggu pada awal tahun ajaran sekolah untuk mengasah keterampilan membangun tim. Memberi tugas pada seorang siswa untuk menjadi pemimpin dalam kelompok kecil, dapat membantu
Dalam membangun tim.
·         Menstrukturkan Interaksi Kelompok
Sebuah kelompok bisa mendapatkan manfaat ketika siswa-siswa mendapatkan peran yang berbeda – misalnya, pendorong, penjaga pintu, pemberi tugas, kapten diam, dan pemantau materi – yang dirancang untuk membantu kelompok tersebut berfungsi dengan lebih lancar.
4.      Program Konstruktivis Sosial: Mendeskripsikan Tiga Program Konstruktivis Sosial.
·         Fostering a Community of Learners
Fostering a community of Learners menekankan (1) penggunaan orang dewasa sebagai teladan, (2) anak – anak mengajar anak – anak, dan (3) konsultasi komputer secara online. Schools Thought mengombinasikan aktivitas dari tiga program : (1) The jasper Project, (2) Fostering a Community of Learners, dan (3) Computer – Supported Intentional Learning Environments. Penyelidikan mendalam yang luas membantu perkembangannya. Guru membimbing siswa-siswa untuk menjadi ahli dalam membangun pengetahuan mereka.
·         Sekolah yang Kolaboratif
Sekolah kolaboratif diatur sebagai kerja sama orang tua – guru – di Salt Lake City, Utah. Anak – anak biasanya bekerja dalam kelompok kecil selama hari itu, berbagi pembuatan keputusan dengan teman sebaya, mengontribusikan bimbingan orang dewasa, dan memperlakukan orang lain sebagai sumber bantuan.[9]











BAB III

KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas bahwa teori belajar konstruktivisme adalah menghubungkan antara pengetahuan  pengalaman belajar dari setiap aspek-aspek pengalaman belajar yang diperoleh dari berbagai macam bentuk kegiatan belajar mengajar setiap individu. Perubahan perkembangan dalam pengalaman pembelajaran yang membentuk penngetahuan melalui pengalaman belajar yang di peroleh dan yang membangun kemampuan kognitif secara dinamis.

























DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W, Psikologi Pendidikan : Educational Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009).







[3]John W. Santrock, Psikologi Pendidikan : Educational Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 51.
[4] Ibid, John W. Santrock, hal. 51-52.

[5] Ibid, John W. Santrock, hal. 52.

[6] Ibid, John W. Santrock, hal. 52-53.
[9]John W. Santrock, Psikologi Pendidikan : Educational Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 81-83.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Etika Kristen

Ringkasan Buku Teologi Dasar I

MAKALAH SEJARAH GEREJA ASIA