Makalah Teori Belajar Konstruktivisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek
semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap
setiap objek yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang
berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu
tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang
melihat dan mengkontruksikanya.[1]
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran ini
dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Pieget
dan vigotsky.
Belajar menurut konstruktivisme adalah suatu proses
mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat
dikembangkan. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa
yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Menurut teori
ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan
kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri
pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberikan kemudahan
untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat pemahaman yang lebih
tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan kata –
kata mereka sendiri.[2]
Dalam
mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar
bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya,
menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya,
mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh
konstruksi yang baru.
Dalam hubungannya dengan
konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan dikembangkan oleh
Jean Piaget dan Vygotsky yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Teori Belajar Konstruktivisme Jean
Piaget
Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a)
Skemata
Sekumpulan
konsep yang digunakan ketika berinteraksi
dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki
struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema
terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan
kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap
perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua.
Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk
skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa
anak, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan
sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana
seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai
suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.
c)
Akomodasi
Dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d) Keseimbangan
Ekuilibrasi
adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi
adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
2.
Teori Belajar Konstruktivisme
Vygotsky
Ratumanan
(2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide utama.
Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari
konteks historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung
pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh
budaya untuk membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah,
dengan demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem
komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk
menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut
Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky
dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan
strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan
terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam
pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding,
semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya
sendiri.
a.
Pengelolaan pembelajaran
Interaksi
sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembangan belajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000),
peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini
memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta
didik.
b.
Pemberian bimbingan
Menurut
Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas
yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di
atas peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik
melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang
tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan
atau bantuan orang lain.
Pada
umumnya Pendekatan konstruktivis sosial (social constructivist approach)
menekankan konteks sosial dalam belajar dan bahwa pengetahuan dibangun serta
dikonstruksikan secara bersama-sama. Keterlibatan dengan orang lain akan
menciptakan kesempatan bagi siswa-siswa untuk mengevaluasi dan memperbaiki
pemahaman mereka, sebagaimana mereka terbuka pada pemikiran orang lain dan
berpartisipasi dalam menciptakan pemahaman bersama. Dalam cara ini, pengalaman
dalam konteks sosial memberikan mekanisme yang penting untuk perkembangan
pemikiran siswa-siswa. [3]
Teori
konstruktivis sosial Vygotsky sangat relevan untuk pembahasan ini. Model
Vygotsky adalah seorang anak yang secara sosial dimasukkan dalam konteks
sosiohistoris. Peralihan dari Piaget ke Vygotsky merupakan peralihan konseptual
dari individual menuju kolaborasi, interaksi sosial, dan aktivitas
sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis kognitif Piaget, siswa membangun
pengetahuan melalui transformasi, organisasi, serta reorganisasi pengetahuan
dan informasi sebelumnya. Pendekatan konstruktivis sosial Vygotsky menekankan
bahwa siswa-siswa membangun pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang
lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur tempat dimana siswa itu
tinggal, yang berhubungan dengan bahasa, keyakinan, dan keterampilan.[4]
Piaget
menekankan bahwa Guru harus memberikan dukungan bagi siswa-siswa untuk
mengeksplorasi dan mengembangkan pemahaman. Vygotsky menekankan bahwa Guru
harus menciptakan banyak peluang bagi siswa-siswa untuk belajar, dengan
membangun pengetahuan secara bersama-sama, baik dengan Guru maupun teman-teman
sebaya. Dalam Model Piaget dan Vygotsky, guru lebih berfungsi sebagai
fasilitator dan pembimbing daripada sebagai pemimpin dan pembentuk pembelajaran
anak-anak.[5]
Dalam sebuah
analisis pendekatan konstruktivis sosial, seorang guru digambarkan sebagai
orang yang tertarik untuk memperhatikan pembelajaran melalui kacamata
anak-anak. Analisis yang sama juga memperhatikan karakteristik kelas
konstruktivis sosial ini:
·
Tujuan kelas yang utama adalah pembangunan makna
yang kolaboratif.
·
Guru memantau perspektif, pemikiran, dan
perasaan siswa.
·
Guru dan siswa sama-sama belajar dan mengajar.
·
Interaksi sosial menyebar ke seluruh kelas.
·
Kurikulum dan materi fisik kelas mencerminkan
minat siswa dan digabung dengan kultur mereka.
Upaya yang telah dilakukan untuk
menggabungkan pembelajaran yang kolaboratif dengan teknologi di dalam kelas
semakin banyak. Sebagai contoh, sebuah program, Computer-Supported Collaborative Learning (CSCL), berusaha untuk
meningkatkan interaksi teman sebaya dan konstruksi pengetahuan bersama melalui
teknologi.[6]
B.
Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada
sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori
konstruktivisme, yaitu:
1.
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar
pada siswa
3.
Memandang siswa
sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses,
bukan menekan pada hasil
5.
Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.
Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.
Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.
Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan
pemahaman siswa
9.
Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip
toeri kognitif
10. Banyak
menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi,
kreasi, dan analisis
11. Menekankan
bagaimana siswa belajar
12. Mendorong
siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain
dan guru
13. Sangat
mendukung terjadinya belajar kooperatif
14. Melibatkan
siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan
pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan
keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata.[7]
C. Peranan
(Implementasi) Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan
ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparkan
tentang penerapan di kelas.
1.
Mendorong kemandirian dan inisiatif
siswa dalam belajar
Dengan
menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir
mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka.
Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis
serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses
belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.
Guru mengajukan pertanyaan terbuka
dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir
reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan
dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa
merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan
dalam melakukan penyelidikan.
3.
Mendorong siswa berpikir tingkat
tinggi
Guru
yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa
untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang
sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep
melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan
atau pemikirannya.
4.
Siswa terlibat secara aktif dalam
dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog
dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif
sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya.
Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan
mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun
pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika
mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang
sangat bermakna akan terjadi di kelas.
5.
Siswa terlibat dalam pengalaman yang
menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika
diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa
menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan
konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan
pengalaman nyata.
6.
Guru memberika data mentah,
sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses
pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa
dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru
membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran
tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.[8]
Mencapai Tujuan Belajar Dengan Pendekatan Konstruktivis Sosial
1.
Pendekatan Konstruktivis Sosial Untuk
Pengajaran: Membandingkan pendekatan konstruktivis sosial dengan pendekatan
konstruktivis yang lain.
·
Konstruktivisme Sosial dalam Konteks Konstruktivis
yang lebih Luas
Teori Piaget
dan Vygotsky adalah teori konstruktivis. Teori Konstruktivis kognitif,
sementara teori Vygotsky untuk pengajaran adalah menetapkan kesempatan bagi
para siswa untuk belajar bersama guru dan teman sebaya dalam membangun
pengetahuan dan pemahaman. Dalam model Piaget dan Vygotsky, Guru adalah
fasilitator, bukan pemimpin. Perbedaan antara pendekatan konstruktivis kognitif
dan sosial tidak selalu jelas. Semua pendekatan konstruktivis sosial menekankan
bahwa faktor sosial memberikan kontribusi untuk pembangunan pengetahuan dan
pemahaman siswa-siswa.
·
Situated Cognition
Situated
Cognition adalah ide bahwa pemikiran ditempatkan (disituasikan) dalam konteks
sosial dan fisik, bukan dalam pikiran individu.
2.
Guru dan Teman Sebaya Sebagai Kontributor Gabungan Untuk Pembelajaran Siswa:
Menjelaskan bagaimana guru dan teman sebaya bisa bersama-sama memberikan
kontribusi untuk pembelajaran anak-anak.
·
Scaffolding (Sistem Dukungan)
Scaffolding
adalah teknik penyediaan tingkat dukungan yang berubah-ubah dalam sesi
pengajaran, dengan individu yang lebih terampil – seorang guru atau teman
sebaya yang lebih pandai – yang memberikan bimbingan agar sesuai dengan
prestasi siswa saat ini.
·
Masa Pembelajaran Kognitif
Masa
pembelajaran Kognitif melibatkan seorang pemula dan seorang ahli, yang
memperluas serta mendukung pemahaman pemula dan penggunaan keterampilan.
·
Tutorial
Tutorial
melibatkan masa pembelajaran kognitif antara seorang ahli dan seorang pemula.
Tutorial bisa terjadi antara seorang dewasa dan seorang anak atau seorang anak
yang lebih terampil dan seorang anak yang kurang terampil. Tutorial individual
sangatlah efektif. Pembantu kelas, sukarelawan, dan mentor bisa berfungsi
sebagai tutor untuk mendukung pembelajaran kelas dan guru. Reading Recovery dan Success
for All merupakan contoh program tutorial yang efektif. Dalam banyak kasus,
siswa-siswa mendapatkan lebih banyak manfaat dari tutorial lintas usia daripada
tutorial dalam usia yang sama. Tutorial bisa memberikan manfaat baik untuk
tutor maupun untuk siswa.
·
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran
Kooperatif terjadi ketika siswa-siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling
membantu dalam belajar. Para peneliti menemukan bahwa pembelajaran kooperatif
bisa menjadi strategi efektif untuk meningkatkan prestasi siswa-siswa, terutama
ketika tujuan kelompok dan tanggung jawab individual telah ditentukan.
Pembelajaran kooperatif sering meningkatkan motivasi intrinsik, mendorong
interdependensi siswa, dan memajukan pemahaman yang mendalam. Pendekatan
pembelajaran kooperatif meliputi STAD (Student
– Teams – Achievement Division), kelas mozaik (I dan II), belajar bersama,
investigasi kelompok, dan penulisan kooperatif.
Pendekatan
pembelajaran kooperatif biasanya merekomendasikan pengelompokan heterogen
dengan keberagaman dalam kemampuan, etnisitas, status sosial ekonomi, dan
gender. Menciptakan komunitas yang kooperatif melibatkan pengembangan
interdependensi yang positif pada sejumlah level: satu kelompok kecil di dalam
kelas sebagai satu keseluruhan, antara kelas, seluruh sekolah, antara orang tua
dan sekolah, serta antara sekolah dan lingkungan sekitar. Pembelajaran
kooperatif memiliki sejumlah kelebihan, tetapi juga memiliki beberapa
kekurangan dalam penggunaannya.
3.
Menyusun Tugas Kelompok Kecil: Membuat keputusan
yang efektif dalam menstrukturkan tugas kelompok kecil.
·
Membuat Kelompok
Dua strategi
dalam membuat kelompok kecil adalah dengan melibatkan anak-anak yang memiliki
kemampuan heterogen dan untuk memiliki keanggotaan kelompok yang mencerminkan
heterogenitas etnik, sosial ekonomi, dan gender.
·
Keterampilan Membangun Tim
Menstrukturkan
kerja kelompok kecil juga melibatkan perhatian untuk ketererampilan membangun
tim. Satu strategi yang bagus adalah dengan menghabiskan beberapa minggu pada
awal tahun ajaran sekolah untuk mengasah keterampilan membangun tim. Memberi
tugas pada seorang siswa untuk menjadi pemimpin dalam kelompok kecil, dapat
membantu
Dalam membangun tim.
·
Menstrukturkan Interaksi Kelompok
Sebuah
kelompok bisa mendapatkan manfaat ketika siswa-siswa mendapatkan peran yang
berbeda – misalnya, pendorong, penjaga pintu, pemberi tugas, kapten diam, dan
pemantau materi – yang dirancang untuk membantu kelompok tersebut berfungsi
dengan lebih lancar.
4.
Program Konstruktivis Sosial: Mendeskripsikan
Tiga Program Konstruktivis Sosial.
·
Fostering a Community of Learners
Fostering a community of Learners menekankan
(1) penggunaan orang dewasa sebagai teladan, (2) anak – anak mengajar anak –
anak, dan (3) konsultasi komputer secara online. Schools Thought mengombinasikan aktivitas dari tiga program : (1)
The jasper Project, (2) Fostering a
Community of Learners, dan (3) Computer
– Supported Intentional Learning Environments. Penyelidikan mendalam yang
luas membantu perkembangannya. Guru membimbing siswa-siswa untuk menjadi ahli
dalam membangun pengetahuan mereka.
·
Sekolah yang Kolaboratif
Sekolah
kolaboratif diatur sebagai kerja sama orang tua – guru – di Salt Lake City,
Utah. Anak – anak biasanya bekerja dalam kelompok kecil selama hari itu,
berbagi pembuatan keputusan dengan teman sebaya, mengontribusikan bimbingan
orang dewasa, dan memperlakukan orang lain sebagai sumber bantuan.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas bahwa teori belajar konstruktivisme adalah menghubungkan
antara pengetahuan pengalaman belajar
dari setiap aspek-aspek pengalaman belajar yang diperoleh dari berbagai macam
bentuk kegiatan belajar mengajar setiap individu. Perubahan perkembangan dalam
pengalaman pembelajaran yang membentuk penngetahuan melalui pengalaman belajar
yang di peroleh dan yang membangun kemampuan kognitif secara dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Santrock, John
W, Psikologi Pendidikan : Educational
Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009).
[1]http://fuone23hw.blogspot.co.id/2015/04/teori-belajar-konstruktivistik-dan.html.
diakses tanggal 10 april 2017.
[2]http://fuone23hw.blogspot.co.id/2015/04/teori-belajar-konstruktivistik-dan.html.
diakses tanggal 11 april 2017
[3]John
W. Santrock, Psikologi Pendidikan :
Educational Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 51.
[4] Ibid,
John W. Santrock, hal. 51-52.
[5]
Ibid, John W. Santrock, hal. 52.
[6]
Ibid, John W. Santrock, hal. 52-53.
[7]http://fuone23hw.blogspot.co.id/2015/04/teori-belajar-konstruktivistik-dan.html.
diakses tanggal 11 april 2017.
[8]http://fuone23hw.blogspot.co.id/2015/04/teori-belajar-konstruktivistik-dan.html.
diakses tanggal 11 april 2017.
[9]John
W. Santrock, Psikologi Pendidikan :
Educational Psychology, Edisi 3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal.
81-83.
Komentar
Posting Komentar