Misiologi PAK




Ringkas Buku
Identitas Buku:
·         Judul              : Teologi Kontekstual
·         Penulis            : Dr. Yakob Tomatala, D. Mis
BAB I PENDAHULUAN
            “Pada mulanya, sebelum dunia dijadikan, Sabda sudah ada. Sabda ada bersama Allah dan Sabda sama dengan Allah. Sejak semula Ia bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Dia, dan dari segala yang ada, tak satupun dijadikan tanpa Dia … Sabda sudah menjadi manusia, Ia tinggal di antara kita, dan kita sudah melihat keagungan-Nya. Keagungan itu diterima-Nya sebagai Anak tunggal Bapa. Melalui Dia kita melihat Allah dan Kasih-Nya kepada kita … Tak kan  ada yang pernah melihat Allah, selain Anak Tunggal Bapa, yang sama dengan Bapa dan erat sekali kepada-Nya. Dialah yang menyatakan Bapa kepada kita” (Yohanes 1:1-3, 14, 18, BIS).
A.    Teologi Kontekstualisasi
            Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara popular dalam dunia pendidikan teologi pada dekade-dekade akhir abad XX ini. Istilah ini semakin popular karena didiskusikan dan didebatkan pada forum-forum yang lebih luas. Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi, tetapi ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti Teologi local (theology in loco ), teologi enkulturasi (theology of inculturation), da nada lagi yang memilih teologi indigeniti yang berakar dari teori “three self” (theology of indigeneity) yang diterjemahkan secara kurang tepat dengan teologi mandiri atau teologi pribumi. Istilah mana yang tepat tergantung pada dasar konseptual, falsafah, pendekatan, dan tujuan dari setiap penggunaan istilah-istilah di atas.
            Tekanan utama yang akan digumuli dalam tulisan ini ialah” bagaimana seharusnya setiap orang Kristen berteologi dalam konteks/lingkungan hidupnya secara utuh”. Dari sudut lain, teologi kontekstualisasi adalah refleksi ideal dari setiap orang Kristen dalam konteks hidupnya atas  Injil Yesus  Kristus. Yang dipentingkan disini ialah bagaimana seharusnya Injil (yang utuh itu) ditaburkan sehingga membawa keseimbangan yang tampak dari refleksi teologi si penerima Injil (dari hakikat dirinya yang utuh – secara Pribadi/kelompok, budaya, sosial, politik, ekonomi local, dsb. – dan keseluruhan perspektif orang-orang tersebut dalam konteksnya.
            Setiap bahasan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada pemahaman konteks (pemberita), teks (konteks Firman Allah), dan konteks (penerima Injil) guna menemukan jawaban bagi pertanyaan “bagaimana berteologi dalam konteks” yang tepat, yaitu selaras dengan Firman yang dibuktikan dengan adanya keseimbangan/harmonisasi ekspresi iman Kristen dalam konteks. Usaha akan diarahkan bagi tercegahnya disintergrasi dan demoralisasi suatu budaya dalam konteksnya yang utuh.
B.     Teologi Lokal, Teologi Enkulturasi, Teologi Indigenisasi, dan Etnoteologi
            Beberapa terminologi lain yang sejajar yaitu:
1.      Teologi Lokal
            Teologi lokal adalah istilah yang dipakai oleh para teolog Katolik Roma dan sebagian Teolog Protestan. Istilah teologi lokal menurut Schreiter “mencerminkan pemakaian bahasa Inggris, yang menekankan konteks sekitar refleksi logis dan juga mempunyai sejumlah ciri gerejani melalui asosiasinya dengan gereja lokal” (1991:13).
2.      Teologi Enkulturasi
            Teologi Katolik Roma yang lain seperti Shorter menggunakan istilah enkulturasi yang dipilih dari istilah Inggris inculturation, yaitu the cultural learning process of the individual, the process by which a person is inserted into his or her culture” (Shorter, 1988:5, 10-13).
3.      Teologi Indigenisasi
                        Dari akar kata indigenous itu sendiri, tekanan yang diberikan ialah agar refleksi teologi itu seharusnya growing naturally dari konteks budaya setempat dimana Injil diberitakan. Charles Kraf menyebut pendekatan seperti ini sebagai ethnotheological approach (Kraf – Wisley, 1979:87) dalam penyampaian Injil/pekerjaan misi pada suatu masyarakat/budaya tertentu.
4.       Etnoteologi
            Etnoteologi (ethnotheology) ialah istilah yang juga dipakai oleh teolog Injili. Penggunaa istilah ini terkait erat dengan kata ta ethne (bangsa-bangsa) yang terdapat dalam Alkitab, khusus nya Matius 28:19-20. Menurut Schreiter, penggunaan istilah ini sepadan dengan pengembangan ilmu-ilmu sosial di Eropa, antara lain, etnopsikologi, etnopsikiatri, dsb. Selanjutnya dikatakan istilah etnoteologi “... membantu kita memusatkan perhatian pada ciri-ciri khas teolog bagi suatu wilayah budaya tertentu” (1991:12).
C.    Teologi Kontekstualisasi dan Kebudayaan
                        Tentang teologi kontekstualisasi, semua faktor yang dijelaskan dalam istilah-istilah di atas terkandung didalamnya. Di depan telah disinggung tentang faktor terkait dalam berteologi dalam setiap konteks budaya, yang dimulai dengan hubungan Injil dan kebudayaan, yang mengaitkan tiga mantra budaya yang harus dikaji – budaya pemberita Injil (pemberita terikat pada konteks budayanya); budaya konteks Injil (yaitu budaya Hebraic – hellenistic) dan penerima Injil; dan konteks budaya totalnya.
                        Bila disimak keseluruhan konsep yang dikemukakan dan dipadukan dengan penalaran kontekstualisasi, maka akan diperoleh gambaran yang padu, karena kesemuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu bagaimana menjelaskan Injil dalam Cultural frame Work suatu budaya sehingga membawa keseimbangan yang dinampakkan dalam refleksi teologis yang Alkitabiah dari kerangka budaya tersebut, dimana Yesus Kristus diterima sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka dan Injil serta Gereja adalah juga milik mereka.
D.    Kontekstualisasi dan Indigenisasi
            Perbandingan konsep kontekstualisasi dan indigenisasi pada akhirnya, diharapkan menolong kita untuk melihat bahwa adalah sangat penting memadukan kekuatan – kekuatan dari setiap pendekatan yang telah diuraikan guna menemukan yang terbaik.
Kontekstualisasi:
1.      Bersifat dinamis
2.      Berorientasi pada masa depan
3.      Proses aksi (memahami budaya) dan refleksi (menanggapi Injil)
4.      Dapat berakibat sinkretisme.
Indegenisasi:
1.      Bersifat statis
2.      Berorientasi pada masa lalu
3.      Mengadaptasi budaya (kehidupan Gerej, komunikasi Injil, unsur-unsur luar)
4.      Dapat berakibat mencipta kebudayaan Kristen.
            Dari pendekatan yang kontekstual yang akan diuraikan dalam tulisan ini, akan diupayakan suatu pendekatan padu, guna melayankan misi Kristus mencapai semua bangsa dalam budaya yang beragam, dengan harapan mencipta dampak seimbang dan positif. Harapan akhir ialah agar perembesan Injil dalam setiap Konteks budaya dapat terjadi senatural mungkin bagi kejayaan nama Tuhan Yesus Kristus.

BAB II
KONTEKSTUALISASI DAN PERJANJIAN LAMA

“Pada zaman dahulu banyak kali Allah berbicara kepada nenek moyang kita melalui nabi – nabi dengan memakai bermacam – macam cara” (Ibrani 1:1, BIS).
            Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi Kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh. Kita tidak dapat berbicara tentang kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru, karena kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru adalah kontinuitas kontekstualisasi Perjanjian Lama .
            Shorter, dalam menyinggung Yesaya 55:6-11, melihatnya sebagai “an Old Testament antecedent of the world – seeding logos, the concept that underlines the christological approach to inculturation” (1988:105). “It is God’s voice speaking within the history of a cilture” (ibid). “... it is the process of God’s revelation, salvation in human history. God inserting his thoughts and his ways into the culture of Israel” (Shorter, 1988:106). Walaupun Shorter menggunakan Istilah contextualization mereka sama – sama menekankan pola pemikiran yang satu, yaitu kepada konsep inkarnasi, baik dalam Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru. Selanjutnya, Glasser mengatakan, “It is this pattern that we find it in
His progessive self – disclosure of Himself to this people” (Gilliland, 1989:33).
            Melihat kepada inkarnasi sebagai modus operandi dari Allah untuk menyatakan diri- Nya dalam kebudayaan manusia.
A.    Penyataan – Diri Allah dalam Penciptaan: Dasar Kontekstualisasi
            Kejadian 1 dimulai dengan Allah yang menyatakan diri sebagai Pencipta. Di sini Allah mengambil inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia. Dengan menyatakan diri sebagai pencipta, Allah menunjukkan kehendak-Nya yang abadi, bahwa Dialah yang harus membuka tabir diri-Nya yangadalah Pencipta kepada manusia. Disini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allahlah penggerak utama kontekstualisasi. Proses kontekstualisasi itu dimulai dari Allah yang menyatakan diri kepada manusia. Penyataan diri Allah ini independen dalam kedaulatan-Nya, dan relasional dalam hubungan dengan manusia. Karena Allah Independen dalam penyataan Diri-Nya, maka Ia sendiri secara mutlak menentukan cara/pola penyataan-Nya (Ibrani 1:1-5). Sehingga dasar teologi kontekstualisasi yang benar ialah Allah serta penyataan diri-Nya. Dengan kata lain, kontekstualisasi yang benar dimulai dari Allah. Dengan demikian, pemahaman akan Allah dan kehendak-Nya merupakan titik tolak teologi kontekstualisasi yang benar.
            Pada sisi lain, penyataan diri Allah yang relasional itu menempatkan-Nya dalam hubungan revelasional dengan manusia, yang adalah obyek penerima penyataan diri Allah yang kekal. Dalam kaitan inilah, Allah sebagai Pencipta telah menciptakan manusia dengan kreativitas untuk berbudaya, yang dalam kerangka budayanya ia balik memandang Allah. Disini terdapat suatu dialektik unik yang menghubungkan Allah pencipta di satu pihak – yang secara penuh bertanggung jawab atas penyataan diri-Nya, dan manusia pada sisi lain, yang menerima penyataan- diri Allah melalui filter budaya.
            Melalui revelasi (pengilhaman/pewahyuan) Allah menyatakan diri-Nya secara progressive – cumulative kepada manusia dalam konteks budaya manusia seutuhnya. Dalam hal ini budaya manusia bukan saja berfungsi sebagai point of contact, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai wahana kontekstualisasi. Di sini, manusia akhirnya memahami dan berinteraksi dengan Allah. Dalam revelasi ini, Allah selalu menjumpai manusia pada konteksnya, dan dari konteksnya itu manusia akhirnya memahami dan berdialog dengan Allah. Di sini kehendak Allah yang kekal masuk melalui budaya manusia sehingga Allah begitu dikenal, begitu dekat pada manusia lewat konteks budayanya yang utuh. Allah berdialog dengan Adam dan Hawa, Kain, Nuh, Abraham, Israel, para Hakim, para Nabi, Para Imam, Para Raja, dsb dan ada gambaran tegas bagaimana derajat pengenalan mereka akan Allah, yang dilukiskan oleh penggunaan istilah-istilah yang antropomorfistik yang sangat mereka kenal. Ini juga menjelaskan bahwa mereka begitu terbiasa dan mengenal Allah melalui budaya serta konteks sejarah mereka, sehingga terciptalah proses kontekstualisasi yang seimbang.
            Tatkala Allah menampakkan diri kepada Musa, Israel, dsb,. Ia menggunakan pola dan terminologi serta sistem yang berlaku dalam konteks historis – budaya mereka, sehingga bagi mereka Allah menjadi sangat jelas (Keluaran 20:1; Yesaya 45:3-6). Kembalinya kepada tekanan utama dalam pokok ini terdapat gambaran tegas bahwa Allah yang menyatakan diri dalam penciptaan merupakan dasar kontekstualisasi. Kenyataan ini membayangi Yohanes 1:1-18 tentang inkarnasi Logos, Sang Pencipta, ke dalam sejarah dan manusia. Penyataan diri Allah lewat penciptaan ternyata begitu dominan dan bersinambung, sehingga dengan melihat ciptaan Allah pun, penerima Firman dalam budaya dapat melihat tangan Allah.
B.                 Mandat Budaya: Pengejawantahan Kontekstualisasi
            Kejadian 1:28-30yang disebut “Mandat Budaya” – memberikan kewenangan bagi umat manusia untuk berbudaya, memenuhi, dan menguasai dunia. Disini manusia dengan sendirinya dapat mendaya gunakan kreativitasnya untuk berbudaya tersebut. Peranan budaya atau kemampuan mental manusia itu begitu penting dalam menjalankan Mandat Budaya ini, sehingga putusan moral sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa dan sesudah kejatuhan ke dalam dosa pun tetap merupakan faktor penentu berteologi dalam konteks.
            Sebagai pemberi Mandat, Allah memulai penyataan – diri dan memiliki kewenangan yang absah bagi dinamika pelaksanaan Mandat Budaya tersebut. Sehingga terbukti bahwa di luar penyataan diri Allah kepada pribadi dan kelompok suatu budaya, tidak akan ada berteologi dalam konteks yang absah alkitabiah.
            Dalam hubungan dengan Mandat Budaya tersebut berdasarkan teks Kejadian 1:28-30 terdapat gambaran gamblang bahwa berteologi dalam konteks hanya terjadi bila ada hubungan intim Allah – Manusia (dalam pengertian sekarang manusia telah ditebus). Berteologi dalam konteks menjadi seimbang karena Kejadian 3 memberi gambaran akibat ketidaktaatan Adam (disebabkan oleh Dosa), yang membawa putusan moral yang bertanggung jawab bila tidak dimulai dengan Allah (Yohanes 6:44, 37; 3:27).
            Perlu ditegaskan bahwa kreativitas manusia tetap ada, walaupun ada dosa. Pada sisi ini jelas terlihat bahwa kreativitas manusia itu bertanggung jawab atas pengembangan pada umumnya. Sedangkan secara moral, kreativitas dan hasil kreasi dapat melayani tujuan dosa (bagi mereka yang belum menerima penyataan diri Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi mereka yang di dalam Tuhan). Hal ini tergambar dalam teks sebelum kejatuhan Adam, Kejadian 1-2, dan sesudah Kejadian 3. Kain, Lamekh, Nimrod, dll, menggunakan kreativitas berbudaya melayani tujuan dosa. Pada sisi lain, Habel, Set, Henokh, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dll, menggunakan kreativitas berbudaya melayani tujuan kebenaran. Di dalam praktik mereka terdapat “berteologi dalam konteks” – dimana mereka mengekspresikan interaksi diri atas penyataan diri Allah.
C.    Perjanjian Berkat Allah: Dinamika Kontekstualisasi
            Allah mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (kejadian 1:28; 2:3) – creation covenant). Dengan demikian, semua hasil ciptaan Allah melukiskan kemuliaan-Nya (Mazmur 8:2-10). Melihat uaraian ini, dapat dikatakan bahwa “segala ciptaan Allah dalam setiap konteks sejarah – budaya suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena “berkat Allah” kepada ciptaan – Nya secara umum tetap berlaku (Matius 5:45).
            Namun seperi diuraikan di depan, dosa membuat jalan masuk yang disinggung di atas menjadi kabur, sehingga Allah sendiri perlu berinisiatif untuk mengadakan suatu perjanjian baru (New Covenant) yang khusus bagi jalan masuk kontekstualisasi yang benar. Kejadian 3:15, sebagai PROTOVANGELIUM (janji Keselamatan Allah yang pertama), memberikan jaminan bahwa Allah sendiri secara khusus yang menyiapkan penyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah dominasi dosa. Interaksi Allah dengan Habel, Set, Henokh, Enos, Nuh, Abraham, dan tokoh saleh lainnya dalam Perjanjian Lama menekankan keajegan dinamika kontekstualisasi Allah.
            Puncak dari perjanjian berkat Allah digenapkan di dalam Kristus. Menurut Galatia 4:4-10, terungkap jelas inkarnasi Kristus dalam konteks budaya Hebraic, yang merupakan dasar berkontekstualisasi baru yang seterusnya terungkap dalam Perjanjian Baru nanti.
D.    Prinsip Kontekstualisasi Perjanjian Lama
            Prinsip kontekstualisasi yang dapat dipelajari dari Perjanjian Lama dapat dirinci berdasarkan uaraian didepan, yaitu sebagai berikut:
1.      Kontekstualisasi dimulai dari Allah – yang berinkarnasi lewat firman-Nya.
2.      Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreativitas manusia.
3.      Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman/penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan.
4.      Bentuk, arti, dan fungsi dari elemen budaya digunakan secara selektif untuk mengekspresikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam (emic).
5.      Bentuk, arti, dan fungsi elemen budaya yang digunakan selalu bersifat kontemporer, aktual, dan familier, dalam suatu konteks budaya pada suatu era Sejarah tertentu sehingga secara jelas dan langsung bersifat komunikatif serta menjawab kebutuhan peserta budaya dari konteks tersebut.
6.      Kontekstualisasi yang benar akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dimaksud dan secara mekanis beroperasi di dalam kerangka hidup budaya tersebut.
7.      Unsur – unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan – diri Allah, transformasi, dan penghayatan perjanjian berkat Allah yang direfleksikan dari perspektif emic.
Menyimpulkan seluruh diskusi tentang kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama, Glasser mengatakan, “All valid contextualization is but a reflection of the incarnation principle which came to fullness when the world became flesh and dwelt among the people of God (John 1:14). Down throught the Old Testament history God again and again met with His People where they were (In context and moved His purpose forward through intimate interaction with them in their varied existential situations”(Gilliland 1989:49).
            Dalam tekanan di atas dua kata kunci, inkarnasi Firman dalam konteks dan refleksi peserta budaya konteks tersebut atas Firman, adalah konsep dasar yang menghubungkan kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
BAB III
KONTEKSTUALISASI DALAM PERJANJIAN BARU
            Konsep inkarnasi Firman dan refleksi peserta budaya suatu konteks akan tetap merupakan dasar pijak bagi diskusi kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru.
A.    Inkarnasi Yesus dalam Konteks Hebraic
Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam konteks budaya Hebraic yang utuh merupakan puncak Allah ke dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat Allah (Yoh 1:14, 18). Inkarnasi Yesus ini disebut sebagai puncak kontekstualisasi Allah, keabsahan inkarnasi Allah melalui Firman-Nya ke dalam konteks sejarah-budaya seperti yang telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Ini hanya memberikan tekanan kepada ketotalan kontekstualisasi Allah, yang merupakan tonggak bagi kontekstualisasi selanjutnya dalam pekerjaan misi. Dalam memahami inkarnasi Kristus yang adalah dasar bagi kontekstualisasi maka akan diuraikan dua sub-pokok, yaitu: Hakikat Inkarnasi, Inkarnasi dan transformasi.
1.      Hakikat Inkarnasi
Arti kata inkarnasi ialah menjadi daging atau menjadi manusia, Yohanes 1:14 mengatakan, “Firmanitu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya. Logos menjadi manusia mempunyai implikasi yang luas. Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Dengan demikian, inkarnasi melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam lingkup social budaya manusia.
2.      Inkarnasi Transformasi
Yang memberikan isi bagi inkarnasi Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi yang terjadi dalam dan pada pusat budaya Hebraic di mana ia berada. Kuasa tranformasi itu bekerja dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas transformasi itu ssendiri. Inkarnasi Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkretisme, dsb. Transformsi yang terjadi harus memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupan budaya tempat Injil beroperasi. Kontektualisasi yang benar terjadi dalam dua arah, “inkarnasi” dan “refleksi”, yang dihubungkan oleh transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang.
B.     Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus
Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam ajaran kenotisnya tentang Kristus, sikap hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap masyarakat yang didatanginya.
1.      Paulus dan Teologi Kenotis Sebagai Dasar Kontekstualisasi
Dalam Filipi 2:5-11, Paulus mengembangkan teologi kenotis tentang Kristus. Paulus melihat kenotis sebagai sifat Kristus, yang mengosongkan diri berpadu dengan dunia manusia. Terdapat gambaran tegas dalam kenosis Kristus bahwa “pengosongan diri” adalah dasar penting bagi terlaksananya proses kontektualisasi. Jelas bahwa untuk diterima dalam konteks budaya lain, prinsip kenotis harus diterapkan “pada diri untuk menjadi alat inkarnasi Injil dan transformasi Kristus oleh Injil, yang dilaksanakan dalam berita dan perilaku dalam konteks actual.
2.      Paulus dan Sikap Determinasi Kontekstual
Dalam melakukan tugas misi, Paulus mengambil sikap contextual determination dengan mempertimbangkan segi etis dan penetapan sikap diri yang kontekstual pragmatis dalam konteks (I Kor 9:16-27).
3.      Paulus dan Pendekatan Kontekstual
Memberi komentar tentang penerapan kontekstualisasi yang dilakukan oleh Rasul Paulus, Gilliland berkata, “the work of Paul is a masterful case of contextualization. The principle is simple to state but intricate to apply. Paul communicats control truths of the Gospel in a variety of ways, depending on a particular situation.
C.    Prinsip Kontekstualisasi Perjanjian Baru
Beberapa prinsip kontekstualisasi dapat ditarik dari penjelasan diatas, yaitu:
1.      Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks Hebraic yang utuh menjelaskan bahwa inkarnasi Injil ke dalam konteks suatu budaya haruslah penuh, sebagai dasar kontekstualisasi.
2.      Inkarnasi Injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar penting keabsahan kontekstualisasi.
3.      Konsep kenotis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberita Injil untuk mengambil sikap hamba/mengosongkan diri agar dapat berkontekstualisasi dengan baik.
4.      Sikap determinasi kontektual harus didukung oleh sikap etika kontekstualisasi yang people oriented – untuk menciptakan pendekatan yang alkitabiah kepada konteks dan refleksi iman yang kontekstual alkitabiah pula.
5.      Sikap determinasi pendekatan kontekstual memberi peluang kepada usaha pendekatan diri kepada konteks yang kontekstual yang akhirnya mencipta transformasi dan refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks di mana Injil diberitakan.
BAB IV
THE NEW COVENAT: DASAR MEMAHAMI ALLAH DALAM KONTEKS
Seperti telah diuraikan, kontekstualisasi bekerja dalam dua arah, yaitu; inkarnasi Firman ke dalam konteks sejarah budaya,dan refleksi iman dari dan di dalam konteks itu sendiri. Bagian ini dapat merupakan suatu sintesis yang memberi tekanan kepada “dalam konteks teks”, yaitu Allah dapat dipahami dalam konteks itu sendiri.
A.    The New Covenant: Hakikat yang satu, pendekatan yang beragam
Istilah covenant merujuk kepada bentuk “bilateral” yang dilakukan antara dua pihak, superior-subordinate, untuk saling mengikat diri, yang superior bertanggung jawab memberikan jaminan perlindungan, sedang yang subordinate bertanggung jawab untuk tunduk dan taat kepada yang superior. Tanggung jawab masing-masing pihak diungkapkan dalam hubungan timbal balik yang mengikat serta didukung oleh ancaman konsekuensi ketidaktaatan.
B.     The New Covenant: Penakar Keabsahan Elemen Budaya bagi Kontekstualisasi
Secara tegas dapat dikatakan di sini bahwa new covenant yang seutuhnya menekankan tentang karya Kristus bagi pembebasan dunia tetap merupakan factor utama bagi keabsahan kontekstualisasi. Ini berarti bahwa isi kontekstualisasi yang sebenarnya harus berpusatkan Kristus. Kristus sebagai manifestasi Allah dan kuasa pembebasan-Nya serta refleksi mereka yang telah dibebaskan atas karya Kristus merupakan pola kontekstualisasi yang benar.
C.    Prinsip-Prinsip Kontekstualisasi dari New Covenant
Beberapa prinsip praktis yang perlu ditekankan sebagai perulangan untuk diingat dalam proses kontekstualisasi, yaitu:
1.      New Covenant  Allah di dalam Tuhan Yesus oleh darah-Nya yang kudus membuka jalan yang baru dan luas bagi penikmatan anugerah keselamatan Allah secara luas oleh lebih banyak orang lagi di seluruh dunia untuk segala zaman (Luk 24:46-48)
2.      Setiap kali terjadi new covenant dalam konteks, maka ada pembebasan kepada timeless relationship dengan Allah.
3.      Peluang yang terbuka ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Kristus adalah untuk segala bangsa, dan makin banyak peluang untuk penyataan kehendak Allah dalam suatu konteks dengan penggunaan pelbagai elemen budaya dalam setiap kelompok budaya.
4.      Makin banyak peluang bagi setiap orang dalam semua kelompok budaya mengenal Allah, karena dalam new covenant itu bukan saja Kristus untuk segala bangsa, melainkan juga segala bangsa untuk Kristus.
5.      Kristus, sentral dari new covenant dalam kenyataan, akan mewujudkan covenant Allah yang sama bagi setiap orang dan segala bangsa dalam konteksnya masing-masing dengan cara yang sesuai dengan pola budaya mereka.
6.      New covenant yang mengikat setiap orang kepada Allah yang telah dibebaskan di dalam Kristus memberi peluang yang luas untuk refleksi dalam konteks yang diungkapkan dengan perspektif budaya setiap kelompok orang.
7.      Tidak ada kontekstualisasi yang benar yang terjadi diluar campur tangan Allah dimana Allah bertindak memilih elemen budaya yang tepat untuk menyatakan diri dalam konteks.
BAB V
INJIL DAN KONTEKS BUDAYA
A.    Hakikat Injil yang Satu dalam Budaya
Injil Yesus Kristus adalah satu dan utuh. Injil adalah kabar baik tentang Yesus Kristus dengan segenap karya pembebasan-Nya bagi dunia.
1.      Manusia, Sasaran Injil
Ada perdebatan yang berkepanjang tentang apakah Injil ditujukan kepada manusia – semua bangsa ataukah Injil ditujukan kepada segala makhluk. Perdebatan ini hampir tidak ada akhirnya, dan tidak jarang membuat jurang pemisah yang lebar antara kemp-kamp aliran teologi yang menyebut diri Injili dan Oikumenis.
2.      Injil, manusia dan konteksnya
Melihat kepada dinamika kerja Injil yang utuh dalam pembebasan menusia seutuhnya, kini tinggal bagaimana menempatkan kuasa pembebasan Injil itu dalam kaitan dengan manusia dalam konteksnya.
B.     Interaksi Injil dalam Budaya
Interaksi Injil dalam budaya terjadi dalam keseluruhan system budaya itu. Bila ada seseorang yang disentuh oleh Injil, maka ini terjadi pada orag tersebut dalam kerangka utuh dari budayanya.
1.      Memahami bentuk budaya
Melihat dari  aspek budaya, maka dapat dikatakan semua bentuk budaya dapat diamati. Di sini tidak ada bentuk budaya apapun dari suatu kelompok orang yang tidak dapat diamati untuk dipahami.
2.      Pola Kerja Budaya
Pola kerja budaya ialah kerangka dan mekanisme hidup yang luas dan kompleks dari setiap budaya. Pola kerja budaya ini menempatkan setiap peserta budaya dalam kerangka dan mekanisme kehidupan budaya serta berfungsi sebagai dinamika penggerak dalam budaya.
3.      Proses Pembentukan/Pelaksanaan Budaya
Semua praktik budaya yang ada dalam suatu budaya dimulai dan dipraktikkan dalam matriks budaya tersebut pembentukan praktik budaya dapat terjadi karena adanya enkulturasi yang ditunjang oleh kreativitas manusia.
C.    Prinsip-Prinsip Penerapan Kerja Injil dan Konteks Budaya
Beberapa prinsip penting yang perlu dicatat dari studi hubungan Injil dan konteks budaya adalah, sbb:
1.      Injil yang satu akan selalu berperasi lintas budaya yang diekspresikan dalam Alkitab dengan terminology budaya.
2.       Jarak suatu budaya ke budaya lain sangat menentukan bagi dampak injil
3.      Sasaran Injil yang satu adalah manusia yang multidimensidan sama seperti injil membebaskan secara utuh, maka pelayanan Injil pun harus dilaksanakan secara utuh menjawab seluruh kehidupan manusia dalam segala Aspek, secara prioritas berimbang
4.      Inil akan selalu beroprasi menjangkau manusia dalam kerangka dan mekanisme kerja budayanya.
BAB VI
INJIL DAN WORLD VIEW
A.    Karakteristik world view  (kraft, 1987:34-38)
Karakteristk world view ialah sifat-sifat dasar yang berbentuk asumsi-asumsi yang merupakan hakikat wprld view, yaitu:
1.      Asumsi-asumsi world view atau premis-premis yang dimilikinya tidak pernah dipertanyakan, tetapi dianggap benar tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu. Asumsi-asumsi ini merupakan kepercayaan yang tidak pernah dipersoalkan.
2.      World view dari sekelompok orang mengorganisasi kehidupan  dan pengalaman-pengalaman mereka kedalam suatu kesatuan menyeluruh dan berfungsi sebagai penjelasan apa dan siapa sebenarnya mereka.
3.      Ada dua typa dasar world view yaitu: (1) asumsi yang bersifat kosmologi atau eksistensial yang menyangkut keberadaan segala sesuatu sebagaimana semestinya ada, anatara lain tentang Allah, alam raya, sifat dasar manusia, dsb. Dan (2) asumsi yang bersifat etis atau normative, yang berhubungan erat dengan nilai.
4.      Asumsi yang berbeda dari world view suatu budaya dengan world view budaya lainnya adalah alasan bagi kesulitan terbesar yang selalu terjadi dalam konteks satu budaya dengan budaya lainnya.
Uraian-uraian diatas menekankan bahwa karakter world view merupakan bentuk-bentuk asumsi yang dipercayai, dipegang teguh, dan dipraktikkan tanpa mempersoalkannya. Hal ini menjelaskan bagaimana seseoran dari suatu budaya berfikir dan berindak, dan ini akan sangat membedakannya dari orang lain dengan budaya yang berbeda.
B.     Fungsi world view
Beberapa fungsi world view yang dapat menolong kita memahami pandangan hidup seseorang ialah:
1.      Fungsi menjelaskan, tentang apa dan mengapa esuatu itu ada sebagaimana adanya
2.      Fungsi peneguhan dan pengesahan, atas konsep yang difikrkan
3.      Fungsi memberi dukungan psikologis bagi segala perilaku dan tindak budaya dalam lingkup sosial
4.      Fungsi perangkum, dengan merangkum semua aspek hidup dan membuat sistematisasi dan urutan prioritas bagi hdup sehingga terciptalah tatcara hidup osial budaya.
5.      Fungsi adaptasi, adopsi, asimilasi, modifikasi atau rejeksi  fakta budaya yang terjadi serta siap untuk berubah dan menyesuaikan diri.
6.      Fungsi menetapkan urutan nilai, yang menetapkan sikap membuat penilaian atas suatu perilaku/tidank budaya yang diurut sebagai berikut:
Ø  Nilai primer
Ø  Nilai sekunder
Ø  Nilai tertier
Fungsi-fungsi world view yang telah dijelaskan diatas memberikan gambaran tentang kefaedahan dan arti dari suatu perilaku ataupun tindak budaya. Dengan demikian, dengan melihat perilaku budaya yang ditunjang oleh fungsi-fungsi diatas, kita akan tertolong untuk memahami world view dari suatu budaya yang dengan sendirinya menguraikan isi hati dari budaya tersebut.
C.     Proses pembakuan World view
Proses pembakuan world view menjelaskan tentang dari mana bagaimana terjadinya world view yang akhirnya menjadi baku dan dianggap sebagai milik suatu budaya. Perlu dijelaskan bahwa pembakuan world view dapat terjadi karena proses enkulturasi (didalam budaya) atau akulturasi (dari luar budaya). Setiap perubahan yang datang akan selalu menyentuh wolrd view. Bila world view disentuh, maka akan terjadi reaksi menolak atau menerima. Seandainya suatu perubahan yang terjadi itu diterima, maka perubahan itu akan menyentuh dan ditata dalam nilai hdup, yang kemudian akan masuk kedalam wadah institusionalisasi/pembakuan dan akhrnya sampai pada proses naturalisasi yaitu telah terjadi sifat dasar. Pada gilirannya, apabila sifat dasar ini diekspresikan lewat world view, semua ini akan menggambarkan bahwa apa yang telah di ekspresikan itu ialah milik budaya yang mengekspresikannya.
D.    Perubahan World view
Suatu perubahan besar yang terjadi didalam suatu budaya, menyangkut perubahan terhadap world view. Telah disinggung secara sepintas bahwa world view itu berkembang dengan cara enkulturasi (pendidikan dalam budaya) dan akulturasi, hidup dan nlai-nilai hidup diturnkan dari dipelihara dan dilanjutkan. Namun ada beberapa kesulitan dari faktor manusia yang membuat adanya kemungkinan-kemungkinan timbulnya perubahan dalam bentuk penambahan, penyimpangan, modifikasi, pengurangan, bahkan unsur-unsur budaya. Dengan adanya “kemungkinan berubah” secara enkulturasi ini, maka kenyataan ini memberikan peluang kepada kemungkinan akulturasi yang datang dari luar terhadap suatu budaya.
Proses akulturasi  suatu budaya kepada budaya lainnya merupakan hal yang sangat mungkin, mengingat hakikat manusia sebagai makhluk budaya/makhluk sosial yang telah diciptakan untuk hidup dan dapat hidup dengan mansia dari budaya lain.
Dalam akulturasi, biasanya suatu unsur budaya yang dominan dapat menguasai dan membawa perubahan pada budaya lainnya. Dengan demikian, suatu perubahan terencana dapat diadakan dalam akulturasi dengan memperhatikan langkah dan proses membawa perubahan. Dengan memahami world view dan perubahan world view/budaya, orang luar dapat memahami jalan masuk kedalam budaya sehingga injil memiliki peluang untuk masuk dan mengadakan transformasi. Dengan demikian, upaya pemahaman world view akan menolong langkah pemanfaatan untuk berkontekstualisasi secara baik (membawa Injil- penyataan Allah dari luar dan respons world view atas injil – terjadi di dalam dan merujuk kepada transformasi Allah atas orang dalam budayanya).
E.     Prinsip-prinsip hubungan Injil dan world view
Beberapa prinsip dasar yang perlu dikaji yang dapat menghubungkan Injil atau dengan melalui World view adalah sebagai berikut:
1.      Para pelayan Injil perlu mengembangkan usaha menalar dan memahami karateristik world view dari orang yang akan diinjili guna menemukan asumsi-asumsi dasar yang merupakan realitas bagi mereka untuk menghubungkan pendekatan yang kontekstual dari pemahaman akan world view tersebut.
2.      Dalam usaha pemahaman karakteristik worl view perlu pula memahami fungi world view untuk memperdalam pengenalan akan world view orang yang akan diinjili guna menetapkan langkah prektis yang tepat dalam berinteraksi dengan orang didalam konteks budaya mereka.
3.      Usaha pemahaman world view yang diuraikan harus ditunjang dengan pengetahuan tentang bagaiman proses dan mekanisme pembakuan world view. Usaha ini  akanmenolong memuka wawasan tentang bagaimana proses fasilitsi injil agar injil dapat memasuki inti budaya, mengadakan transformasi dengan perubahan yang berimbang dan stabil.
4.      Dalam upaya penginjilan harus diupayakan “frame work” yang mencipta pendekatan kea rah perubahan berimbang demi kemajuan/kestabilan yang memungkinkan Injil dapat merembes dengan lebih cepat dan luas.
BAB VII
PROSES KONTEKSTUALISASI
Proses kontekstualisasi adalah usaha integrative yang memadukan segala upaya pemahaman kognitis tentang pandangan Alkitab terhadap kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia dalam konteks budaya tersebut serta usaha pendekatan injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks. Pokok ini akan secara rinci mendiskusikan enam segi penting bagi proses kontekstualisasi, yaitu: Alkitab, kebudayaan dan refleksi teologi; model-model pendekatan kontekstualisasi; pendekatan penerapan kontekstualisasi; Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi; kontekstualisasi bagi pengembangan gereja yang kontekstual; dan prinsip-prinsip dalam proses kontekstualisasi.
A.    Alkitab, Kebudayaan dan Refleksi teologi
Dalam menguak hubungan antara Alkitab, kebudayaan, dan refleksi teologi, beberapa dasar penting akan disinggung yaitu:
1.      Allah, manusia dan budaya
2.      Keabsahan Dimensi Teologi kontekstualisasi
3.      Refleksi  Teologi Kontekstualisasi
Dalam uraian diatas telah dipaparkan tentang mekanisme hubungan Alkitab kebudayaan dan refleksi teologi dalam konteks budaya yang menjadi dasar untuk bertteologi dalam konteks. Prinsip-prinsip tersebut hanyalah merupakan penuntun bagi teologi kontekstualissi, sedang dalam pelaksanaan yang actual dalam satu konteks budaya sangat dituntut sikap bertangguang jawab dari pihak pembita injil sehingga secara sensitive dapat mengarahakan fasilitssi interaksi Firman dan refleksi teologi atas Firman di dalam konteks budaya tersebut dengan sebaik-baiknya.
B.     Model-model Pendekatan kontekstualisasi
Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas prinsip dogmatic terentu. Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum tentang usaha berteoloi dalam konteks yang pernah dibuat. Disamping itu, model-model tersebut menolong kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu pendekatan teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan da
Model-model berkontekstualisasi dapat diuraikan dengan singkat, sebagai berikut:
1.      Model akomodasi (KPR 17:28)
Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris baik secara teologi maupun secara ilmiah. Di sini, dalam komunikasi injil, terjadi proses penetrasi dan dalam penerapannya terdapat pengambilalihan unsur budaya stempat untuk mengekspresikan dan meningkatkan sambutan atas injil.
2.      Model Adaptasi
Perbedaan adaptasi dan akomodasi terletak pada cara pendekatannya, Model adaptasi tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk dan ide budaya yang dikenal.
Tujuan adaptasi ialah mengekspresikan dan menerjamahkan Injil dalam istilah setempat (indigeneous terms) sehingga menjadi relevan dalam situasi budaya tersebut.
3.      Model Prossio
Prosessio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negative. Proses Prosseio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok prosseio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
4.      Model Transformasi
Allah itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (II Kor 5:17).
5.      Model Dialetik
Ini adalah interaksi dinmis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian gereja harus menggunakan peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap keadaan.

C.    Pendekatan penerapan Kontekstualisasi
Kunci utama penerapan konsep kontekstualisasi ialah pemahaman akan proses “hermeneutic” yang relevan dari segi pelayanan Injil. Ada dua kata pendekatan dalam proses hermeneutic yang akan disinggung untuk memberikan gambaran tentang pentingnya penalaran hermeneutic dalam berkontekstualissi, yaitu: pendekatan “formal atau Tradisional”, dan Pendekatan “Dynamic Equivalence”.
1.      Pendekatan Formal atau Tradisioanal
Pendekatan ini disebut juga sebagai formal correspondence approach. Pendekatan dilakukan tanpa memperhatikan faktor sejarah dan sosio-budaya dalam konteks aslinya dan konteks hidup masa kini.
Pendekatan ini mengabaikan kenyataan “keanekaragaman budaya” dengan bentuk, fungsi, dan arti yang berbeda dari suatu konteks sejarah budaya dengan konteks lain.
2.      Pendekatan Dinamic Equivalence
Pendekatan ini dipelopori oleh Charles H. Kraft yang bertujuan menciptakan impak yang seimbang pada situasi konteks sejarah-budaya asli dimana Firman Tuhan pertama diilhamkan.
Untuk melakukan pendekatan dynamic equivalence ini baik dalam hermeneuitik, penerjemahan teks, maupaun dalam berteologi, ada beberapa langkah yang harus diambil.
·         Setiap bahasa memiliki kelebihan sendiri-sendiri dan sifat yang khsus.
·         Berkomunikasi yang efekif dalam bahasa orang lain, maka komunikator harus menghargai bahsa lain
·         Segala sesuatu dapat diungkapkan dalam bahasa lain keuali bentuk kata atau kalimat yang mengandung unsur khusus bagi berita yang disampaikan
·         Untuk menjaga isi berita, maka bentuk berita perlu diubah.
·         Bahasa-bahasa asli yang digunakan dalam Alkitab memliki keterbatsan sama seperti dibahasa lain, karena itu jangan menganggapnya terlalu suci untuk dianalisis dan diterjemahkan kedalam  bentuk bahasa modern.
Gereja local yang kontekstual atau mandiri, Allan R. Tippett dalam menglas indigen

D.    Komunikasi Injil dalam Berkontekstualisasi
Dalam mengulas pokok komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi ada tiga pokok penting yang akan dibahas, yaitu: Bentuk inteaksi Komunikasi Injil; prinsip dasar komunikasi Injil ; dan Prinsip komuniksi Injil yang efektif.
1.      Bentuk Interaksi Komunikasi Injil
2.      Prinsip Dasar Komuikasi Injil
3.      Prinsip Komunikasi Injil yang Efektif

E.     Kontekstualisasi bagi pengembangan Gereja yang kontekstual

Jelaslah bahwa sasaran dari komuikasi Injil yaitu berteologi dalam konteks ialah mengembangkan gereja local yang kontekstual. Untuk mengembangkan gereja local yang kontekstual. Untuk menegembangkan gereja local yang kontekstual atau mandiri, Allan R. Tippett dalam mengulas Indigenous Principlesin Mission Today (Kraft – wisely, 1979:52-70) menekankan bahwa: Menurut Tippett, gereja local yang kontekstual harus bertumbuh secara utuh sebagai akibat dari pembebasan Injil. Refleksi dari pembebasan Injil dinyatakan dalam pertumbuhan gereja yang kontekstual, dimana orang-orang Kristen yang diselamatkan Tuhan pada suatu konteks menghimpunkan diri kedalam gereja local. Refleksi pembebasan Injil ini dibuktikan dalam kehidupan gereja yang dinamis, dimana gereja itu bertumbuh dalam dimensi utuh, yaitu pertumbuhan kuantitas, pertumbuhan kualitas, dan pertumbuhan organis (fungsional ) yang stabil dan seimbang. Tanda-tanda dari gereja local yang kontekstual (mandiri) dikembagkan oleh Tippett dengan menyoroti teori “ there-self “ dari Rufus Anderson dan Henry Venn dan menekankan bahwa ciri-ciri gereja kontekstual/mandiri yang diuraikan secara popular adalah sebagai berikut:
1.      Memiliki gambaran diri sebagai “tubuh Kristus” gereja harus memehami dan melihat dirinya sebagai tubuh kristus yang dinyatakan dalam konteks, pola, bentuk, keragka, dan system sosio –budaya-lokal-seutuhnya.
2.      Berfungsi sendiri atau dapat disebut mandiri,
3.      Memiliki kemampuan membuat keputusan bagi diri sendiri.
4.      Membiayai diri sendiri dengan menggali sumber dana menurut Alkitab dalam jemaat dan konteks hidup tanpa bergantung pada sumber luar.
5.      Giat dan aktif untuk mengembangkan diri sendiri; semua anggota jemaat local terlibat secara aktif dalam mengembangkan “charisma Rohani”.
6.      Mengabdikan diri sebagai pelayan Tuhan
F.     Prinsip-prinsip dalam proses kontekstualisasi
Mengakhiri bab ini, perlu sekali diuraikan ulang tentang beberapa prinsip seputar pelaksanaan proses kontekstualisasi untuk lebi diingat, yaitu:
1.      Perlu diingat bahwa Alkitab tetap memberikan tempat utama bagi Allah tanpa mencampurkan dengan makhluk sekalipun Allah yang diatas itu bekerja melalui budaya.
2.      Alkitab memandang kebudayaan sebagai positif karena merupakan mandate budaya sedangkan kebudayaan itu negative karena dosa dan dilakukan dalam diri dosa.
3.      Dalam berteologi di dalam konteks, perlu dilihat kebsahannya yang diukur dengan sikap terhadap:
·         Alkitab adalah Firman Allah
·         Allah adalah pencipta Abadi
·         Yesus kristus adalah Allah dan satu-satunya juruselamat dunia.
·         Roh kudus adalah Allah, penolong, pembimbing, dan pemberi hidup berkemenangan
·         Manusia adalah berdosa, dan hanya diselamatkan oleh karya kristus
·         Gereja adalah umat Allah yang dipanggil sebagai saksi kristus.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Etika Kristen

Quiz Alkitab Sekolah Minggu

MAKALAH SEJARAH GEREJA ASIA