Misiologi PAK
Ringkas Buku
Identitas Buku:
·
Judul : Teologi Kontekstual
·
Penulis : Dr. Yakob Tomatala, D. Mis
BAB
I PENDAHULUAN
“Pada mulanya, sebelum dunia
dijadikan, Sabda sudah ada. Sabda ada bersama Allah dan Sabda sama dengan
Allah. Sejak semula Ia bersama Allah. Segalanya dijadikan melalui Dia, dan dari
segala yang ada, tak satupun dijadikan tanpa Dia … Sabda sudah menjadi manusia,
Ia tinggal di antara kita, dan kita sudah melihat keagungan-Nya. Keagungan itu
diterima-Nya sebagai Anak tunggal Bapa. Melalui Dia kita melihat Allah dan
Kasih-Nya kepada kita … Tak kan ada yang pernah melihat Allah, selain Anak Tunggal
Bapa, yang sama dengan Bapa dan erat sekali kepada-Nya. Dialah yang menyatakan
Bapa kepada kita” (Yohanes 1:1-3, 14, 18, BIS).
A.
Teologi
Kontekstualisasi
Istilah kontekstualisasi telah
digunakan secara popular dalam dunia pendidikan teologi pada dekade-dekade
akhir abad XX ini. Istilah ini semakin popular karena didiskusikan dan
didebatkan pada forum-forum yang lebih luas. Ada kelompok yang mempergunakan
dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi, tetapi ada pula yang
menggunakan istilah lain, seperti Teologi local (theology in loco ), teologi enkulturasi (theology of inculturation), da nada lagi yang memilih teologi
indigeniti yang berakar dari teori “three
self” (theology of indigeneity)
yang diterjemahkan secara kurang tepat dengan teologi mandiri atau teologi pribumi.
Istilah mana yang tepat tergantung pada dasar konseptual, falsafah, pendekatan,
dan tujuan dari setiap penggunaan istilah-istilah di atas.
Tekanan utama yang akan digumuli
dalam tulisan ini ialah” bagaimana seharusnya setiap orang Kristen berteologi
dalam konteks/lingkungan hidupnya secara utuh”. Dari sudut lain, teologi
kontekstualisasi adalah refleksi ideal dari setiap orang Kristen dalam konteks
hidupnya atas Injil Yesus Kristus. Yang dipentingkan disini ialah
bagaimana seharusnya Injil (yang utuh itu) ditaburkan sehingga membawa
keseimbangan yang tampak dari refleksi teologi si penerima Injil (dari hakikat
dirinya yang utuh – secara Pribadi/kelompok, budaya, sosial, politik, ekonomi
local, dsb. – dan keseluruhan perspektif orang-orang tersebut dalam konteksnya.
Setiap bahasan dalam tulisan ini
akan diarahkan kepada pemahaman konteks (pemberita), teks (konteks Firman
Allah), dan konteks (penerima Injil) guna menemukan jawaban bagi pertanyaan
“bagaimana berteologi dalam konteks” yang tepat, yaitu selaras dengan Firman
yang dibuktikan dengan adanya keseimbangan/harmonisasi ekspresi iman Kristen
dalam konteks. Usaha akan diarahkan bagi tercegahnya disintergrasi dan
demoralisasi suatu budaya dalam konteksnya yang utuh.
B.
Teologi
Lokal, Teologi Enkulturasi, Teologi Indigenisasi, dan Etnoteologi
Beberapa
terminologi lain yang sejajar yaitu:
1. Teologi
Lokal
Teologi
lokal adalah istilah yang dipakai oleh para teolog Katolik Roma dan sebagian
Teolog Protestan. Istilah teologi lokal menurut Schreiter “mencerminkan
pemakaian bahasa Inggris, yang menekankan konteks sekitar refleksi logis dan
juga mempunyai sejumlah ciri gerejani melalui asosiasinya dengan gereja lokal”
(1991:13).
2. Teologi
Enkulturasi
Teologi
Katolik Roma yang lain seperti Shorter menggunakan istilah enkulturasi yang
dipilih dari istilah Inggris inculturation,
yaitu the cultural learning process
of the individual, the process by which a person is inserted into his or her
culture” (Shorter, 1988:5, 10-13).
3. Teologi
Indigenisasi
Dari
akar kata indigenous itu sendiri,
tekanan yang diberikan ialah agar refleksi teologi itu seharusnya growing naturally dari konteks budaya
setempat dimana Injil diberitakan. Charles Kraf menyebut pendekatan seperti ini
sebagai ethnotheological approach (Kraf
– Wisley, 1979:87) dalam penyampaian Injil/pekerjaan misi pada suatu
masyarakat/budaya tertentu.
4.
Etnoteologi
Etnoteologi (ethnotheology) ialah istilah yang juga dipakai oleh teolog Injili. Penggunaa
istilah ini terkait erat dengan kata ta
ethne (bangsa-bangsa) yang terdapat dalam Alkitab, khusus nya Matius
28:19-20. Menurut Schreiter, penggunaan istilah ini sepadan dengan pengembangan
ilmu-ilmu sosial di Eropa, antara lain, etnopsikologi, etnopsikiatri, dsb.
Selanjutnya dikatakan istilah etnoteologi “... membantu kita memusatkan
perhatian pada ciri-ciri khas teolog bagi suatu wilayah budaya tertentu”
(1991:12).
C. Teologi
Kontekstualisasi dan Kebudayaan
Tentang
teologi kontekstualisasi, semua faktor yang dijelaskan dalam istilah-istilah di
atas terkandung didalamnya. Di depan telah disinggung tentang faktor terkait
dalam berteologi dalam setiap konteks budaya, yang dimulai dengan hubungan
Injil dan kebudayaan, yang mengaitkan tiga mantra budaya yang harus dikaji –
budaya pemberita Injil (pemberita terikat pada konteks budayanya); budaya
konteks Injil (yaitu budaya Hebraic –
hellenistic) dan penerima Injil; dan konteks budaya totalnya.
Bila
disimak keseluruhan konsep yang dikemukakan dan dipadukan dengan penalaran
kontekstualisasi, maka akan diperoleh gambaran yang padu, karena kesemuanya
bermuara pada satu tujuan, yaitu bagaimana menjelaskan Injil dalam Cultural frame Work suatu budaya
sehingga membawa keseimbangan yang dinampakkan dalam refleksi teologis yang
Alkitabiah dari kerangka budaya tersebut, dimana Yesus Kristus diterima sebagai
Tuhan dan Juruselamat mereka dan Injil serta Gereja adalah juga milik mereka.
D. Kontekstualisasi
dan Indigenisasi
Perbandingan konsep kontekstualisasi
dan indigenisasi pada akhirnya, diharapkan menolong kita untuk melihat bahwa
adalah sangat penting memadukan kekuatan – kekuatan dari setiap pendekatan yang
telah diuraikan guna menemukan yang terbaik.
Kontekstualisasi:
1.
Bersifat
dinamis
2.
Berorientasi
pada masa depan
3.
Proses
aksi (memahami budaya) dan refleksi (menanggapi Injil)
4.
Dapat
berakibat sinkretisme.
Indegenisasi:
1.
Bersifat
statis
2.
Berorientasi
pada masa lalu
3.
Mengadaptasi
budaya (kehidupan Gerej, komunikasi Injil, unsur-unsur luar)
4.
Dapat
berakibat mencipta kebudayaan Kristen.
Dari pendekatan yang kontekstual
yang akan diuraikan dalam tulisan ini, akan diupayakan suatu pendekatan padu,
guna melayankan misi Kristus mencapai semua bangsa dalam budaya yang beragam,
dengan harapan mencipta dampak seimbang dan positif. Harapan akhir ialah agar
perembesan Injil dalam setiap Konteks budaya dapat terjadi senatural mungkin
bagi kejayaan nama Tuhan Yesus Kristus.
BAB II
KONTEKSTUALISASI DAN PERJANJIAN LAMA
“Pada zaman dahulu banyak kali Allah berbicara kepada
nenek moyang kita melalui nabi – nabi dengan memakai bermacam – macam cara”
(Ibrani 1:1, BIS).
Kontekstualisasi dalam Perjanjian
Lama merupakan dasar penting bagi Kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh.
Kita tidak dapat berbicara tentang kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru,
karena kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru adalah kontinuitas
kontekstualisasi Perjanjian Lama .
Shorter, dalam menyinggung Yesaya 55:6-11,
melihatnya sebagai “an Old Testament
antecedent of the world – seeding logos, the concept that underlines the
christological approach to inculturation” (1988:105). “It is God’s voice speaking within the history of a cilture” (ibid).
“... it is the process of God’s
revelation, salvation in human history. God inserting his thoughts and his ways
into the culture of Israel” (Shorter, 1988:106). Walaupun Shorter
menggunakan Istilah contextualization mereka
sama – sama menekankan pola pemikiran yang satu, yaitu kepada konsep inkarnasi,
baik dalam Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru. Selanjutnya, Glasser
mengatakan, “It is this pattern that we
find it in
His progessive self – disclosure of Himself to this
people” (Gilliland,
1989:33).
Melihat kepada inkarnasi sebagai
modus operandi dari Allah untuk menyatakan diri- Nya dalam kebudayaan manusia.
A. Penyataan
– Diri Allah dalam Penciptaan: Dasar Kontekstualisasi
Kejadian 1 dimulai dengan Allah yang
menyatakan diri sebagai Pencipta. Di sini Allah mengambil inisiatif pertama
dalam penyataan diri-Nya kepada dunia. Dengan menyatakan diri sebagai pencipta,
Allah menunjukkan kehendak-Nya yang abadi, bahwa Dialah yang harus membuka
tabir diri-Nya yangadalah Pencipta kepada manusia. Disini terdapat tekanan
utama yaitu bahwa Allahlah penggerak utama kontekstualisasi. Proses
kontekstualisasi itu dimulai dari Allah yang menyatakan diri kepada manusia.
Penyataan diri Allah ini independen dalam kedaulatan-Nya, dan relasional dalam
hubungan dengan manusia. Karena Allah Independen dalam penyataan Diri-Nya, maka
Ia sendiri secara mutlak menentukan cara/pola penyataan-Nya (Ibrani 1:1-5).
Sehingga dasar teologi kontekstualisasi yang benar ialah Allah serta penyataan
diri-Nya. Dengan kata lain, kontekstualisasi yang benar dimulai dari Allah.
Dengan demikian, pemahaman akan Allah dan kehendak-Nya merupakan titik tolak
teologi kontekstualisasi yang benar.
Pada sisi lain, penyataan diri Allah
yang relasional itu menempatkan-Nya dalam hubungan revelasional dengan manusia,
yang adalah obyek penerima penyataan diri Allah yang kekal. Dalam kaitan
inilah, Allah sebagai Pencipta telah menciptakan manusia dengan kreativitas
untuk berbudaya, yang dalam kerangka budayanya ia balik memandang Allah. Disini
terdapat suatu dialektik unik yang menghubungkan Allah pencipta di satu pihak –
yang secara penuh bertanggung jawab atas penyataan diri-Nya, dan manusia pada
sisi lain, yang menerima penyataan- diri Allah melalui filter budaya.
Melalui revelasi (pengilhaman/pewahyuan)
Allah menyatakan diri-Nya secara progressive
– cumulative kepada manusia dalam konteks budaya manusia seutuhnya. Dalam
hal ini budaya manusia bukan saja berfungsi sebagai point of contact, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai wahana kontekstualisasi.
Di sini, manusia akhirnya memahami dan berinteraksi dengan Allah. Dalam
revelasi ini, Allah selalu menjumpai manusia pada konteksnya, dan dari
konteksnya itu manusia akhirnya memahami dan berdialog dengan Allah. Di sini
kehendak Allah yang kekal masuk melalui budaya manusia sehingga Allah begitu
dikenal, begitu dekat pada manusia lewat konteks budayanya yang utuh. Allah
berdialog dengan Adam dan Hawa, Kain, Nuh, Abraham, Israel, para Hakim, para
Nabi, Para Imam, Para Raja, dsb dan ada gambaran tegas bagaimana derajat
pengenalan mereka akan Allah, yang dilukiskan oleh penggunaan istilah-istilah
yang antropomorfistik yang sangat mereka kenal. Ini juga menjelaskan bahwa
mereka begitu terbiasa dan mengenal Allah melalui budaya serta konteks sejarah
mereka, sehingga terciptalah proses kontekstualisasi yang seimbang.
Tatkala Allah menampakkan diri
kepada Musa, Israel, dsb,. Ia menggunakan pola dan terminologi serta sistem
yang berlaku dalam konteks historis – budaya mereka, sehingga bagi mereka Allah
menjadi sangat jelas (Keluaran 20:1; Yesaya 45:3-6). Kembalinya kepada tekanan
utama dalam pokok ini terdapat gambaran tegas bahwa Allah yang menyatakan diri
dalam penciptaan merupakan dasar kontekstualisasi. Kenyataan ini membayangi
Yohanes 1:1-18 tentang inkarnasi Logos, Sang
Pencipta, ke dalam sejarah dan manusia. Penyataan diri Allah lewat penciptaan
ternyata begitu dominan dan bersinambung, sehingga dengan melihat ciptaan Allah
pun, penerima Firman dalam budaya dapat melihat tangan Allah.
B.
Mandat Budaya: Pengejawantahan Kontekstualisasi
Kejadian 1:28-30 – yang disebut “Mandat Budaya” – memberikan kewenangan bagi umat
manusia untuk berbudaya, memenuhi, dan menguasai dunia. Disini manusia dengan
sendirinya dapat mendaya gunakan kreativitasnya untuk berbudaya tersebut.
Peranan budaya atau kemampuan mental manusia itu begitu penting dalam
menjalankan Mandat Budaya ini, sehingga putusan moral sebelum kejatuhan manusia
ke dalam dosa dan sesudah kejatuhan ke dalam dosa pun tetap merupakan faktor penentu
berteologi dalam konteks.
Sebagai pemberi Mandat, Allah
memulai penyataan – diri dan memiliki kewenangan yang absah bagi dinamika
pelaksanaan Mandat Budaya tersebut. Sehingga terbukti bahwa di luar penyataan
diri Allah kepada pribadi dan kelompok suatu budaya, tidak akan ada berteologi
dalam konteks yang absah alkitabiah.
Dalam hubungan dengan Mandat Budaya
tersebut berdasarkan teks Kejadian 1:28-30 terdapat gambaran gamblang bahwa
berteologi dalam konteks hanya terjadi bila ada hubungan intim Allah – Manusia
(dalam pengertian sekarang manusia telah ditebus). Berteologi dalam konteks
menjadi seimbang karena Kejadian 3 memberi gambaran akibat ketidaktaatan Adam
(disebabkan oleh Dosa), yang membawa putusan moral yang bertanggung jawab bila
tidak dimulai dengan Allah (Yohanes 6:44, 37; 3:27).
Perlu ditegaskan bahwa kreativitas
manusia tetap ada, walaupun ada dosa. Pada sisi ini jelas terlihat bahwa
kreativitas manusia itu bertanggung jawab atas pengembangan pada umumnya.
Sedangkan secara moral, kreativitas dan hasil kreasi dapat melayani tujuan dosa
(bagi mereka yang belum menerima penyataan diri Allah) dan melayani tujuan
kebenaran (bagi mereka yang di dalam Tuhan). Hal ini tergambar dalam teks
sebelum kejatuhan Adam, Kejadian 1-2, dan sesudah Kejadian 3. Kain, Lamekh,
Nimrod, dll, menggunakan kreativitas berbudaya melayani tujuan dosa. Pada sisi
lain, Habel, Set, Henokh, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dll, menggunakan
kreativitas berbudaya melayani tujuan kebenaran. Di dalam praktik mereka
terdapat “berteologi dalam konteks” – dimana mereka mengekspresikan interaksi
diri atas penyataan diri Allah.
C. Perjanjian
Berkat Allah: Dinamika Kontekstualisasi
Allah
mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (kejadian 1:28; 2:3) – creation covenant). Dengan demikian,
semua hasil ciptaan Allah melukiskan kemuliaan-Nya (Mazmur 8:2-10). Melihat
uaraian ini, dapat dikatakan bahwa “segala ciptaan Allah dalam setiap konteks
sejarah – budaya suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses
kontekstualisasi karena “berkat Allah” kepada ciptaan – Nya secara umum tetap
berlaku (Matius 5:45).
Namun
seperi diuraikan di depan, dosa membuat jalan masuk yang disinggung di atas
menjadi kabur, sehingga Allah sendiri perlu berinisiatif untuk mengadakan suatu
perjanjian baru (New Covenant) yang
khusus bagi jalan masuk kontekstualisasi yang benar. Kejadian 3:15, sebagai PROTOVANGELIUM (janji Keselamatan Allah
yang pertama), memberikan jaminan bahwa Allah sendiri secara khusus yang
menyiapkan penyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya manusia dapat memahami
Allah secara baru di tengah dominasi dosa. Interaksi Allah dengan Habel, Set,
Henokh, Enos, Nuh, Abraham, dan tokoh saleh lainnya dalam Perjanjian Lama
menekankan keajegan dinamika kontekstualisasi Allah.
Puncak
dari perjanjian berkat Allah digenapkan di dalam Kristus. Menurut Galatia
4:4-10, terungkap jelas inkarnasi Kristus dalam konteks budaya Hebraic, yang merupakan dasar
berkontekstualisasi baru yang seterusnya terungkap dalam Perjanjian Baru nanti.
D. Prinsip
Kontekstualisasi Perjanjian Lama
Prinsip kontekstualisasi yang dapat
dipelajari dari Perjanjian Lama dapat dirinci berdasarkan uaraian didepan,
yaitu sebagai berikut:
1.
Kontekstualisasi
dimulai dari Allah – yang berinkarnasi lewat firman-Nya.
2.
Kontekstualisasi
dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang
oleh kreativitas manusia.
3.
Refleksi
teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan
pemahaman/penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan.
4.
Bentuk,
arti, dan fungsi dari elemen budaya digunakan secara selektif untuk
mengekspresikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari
orang dalam (emic).
5.
Bentuk,
arti, dan fungsi elemen budaya yang digunakan selalu bersifat kontemporer,
aktual, dan familier, dalam suatu konteks budaya pada suatu era Sejarah
tertentu sehingga secara jelas dan langsung bersifat komunikatif serta menjawab
kebutuhan peserta budaya dari konteks tersebut.
6.
Kontekstualisasi
yang benar akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang
berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dimaksud dan secara mekanis beroperasi
di dalam kerangka hidup budaya tersebut.
7.
Unsur
– unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan – diri Allah,
transformasi, dan penghayatan perjanjian berkat Allah yang direfleksikan dari
perspektif emic.
Menyimpulkan seluruh diskusi tentang kontekstualisasi
dalam Perjanjian Lama, Glasser mengatakan, “All
valid contextualization is but a reflection of the incarnation principle which
came to fullness when the world became flesh and dwelt among the people of God
(John 1:14). Down throught the Old Testament history God again and again met
with His People where they were (In context and moved His purpose forward
through intimate interaction with them in their varied existential situations”(Gilliland
1989:49).
Dalam
tekanan di atas dua kata kunci, inkarnasi Firman dalam konteks dan refleksi
peserta budaya konteks tersebut atas Firman, adalah konsep dasar yang
menghubungkan kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
BAB III
KONTEKSTUALISASI DALAM
PERJANJIAN BARU
Konsep inkarnasi Firman dan refleksi
peserta budaya suatu konteks akan tetap merupakan dasar pijak bagi diskusi
kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru.
A.
Inkarnasi
Yesus dalam Konteks Hebraic
Inkarnasi
Yesus Kristus ke dalam konteks budaya Hebraic yang utuh merupakan puncak Allah
ke dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat Allah (Yoh
1:14, 18). Inkarnasi Yesus ini disebut sebagai puncak kontekstualisasi Allah,
keabsahan inkarnasi Allah melalui Firman-Nya ke dalam konteks sejarah-budaya
seperti yang telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Ini hanya memberikan tekanan
kepada ketotalan kontekstualisasi Allah, yang merupakan tonggak bagi
kontekstualisasi selanjutnya dalam pekerjaan misi. Dalam memahami inkarnasi
Kristus yang adalah dasar bagi kontekstualisasi maka akan diuraikan dua
sub-pokok, yaitu: Hakikat Inkarnasi, Inkarnasi dan transformasi.
1. Hakikat
Inkarnasi
Arti
kata inkarnasi ialah menjadi daging atau menjadi manusia, Yohanes 1:14
mengatakan, “Firmanitu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita
telah melihat kemuliaan-Nya. Logos menjadi manusia mempunyai implikasi yang
luas. Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia, hidup dalam sejarah manusia,
menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Dengan demikian, inkarnasi
melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam lingkup
social budaya manusia.
2. Inkarnasi
Transformasi
Yang
memberikan isi bagi inkarnasi Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi
yang terjadi dalam dan pada pusat budaya Hebraic di mana ia berada. Kuasa
tranformasi itu bekerja dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas
transformasi itu ssendiri. Inkarnasi
Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh
transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkretisme,
dsb. Transformsi yang terjadi harus memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupan
budaya tempat Injil beroperasi. Kontektualisasi yang benar terjadi dalam dua
arah, “inkarnasi” dan “refleksi”, yang dihubungkan oleh transformasi Kristus,
dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang.
B.
Kontekstualisasi
Injil oleh Rasul Paulus
Kontekstualisasi
Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam ajaran kenotisnya tentang Kristus,
sikap hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap masyarakat yang
didatanginya.
1. Paulus
dan Teologi Kenotis Sebagai Dasar Kontekstualisasi
Dalam
Filipi 2:5-11, Paulus mengembangkan teologi kenotis tentang Kristus. Paulus
melihat kenotis sebagai sifat Kristus, yang mengosongkan diri berpadu dengan
dunia manusia. Terdapat gambaran tegas dalam kenosis Kristus bahwa “pengosongan
diri” adalah dasar penting bagi terlaksananya proses kontektualisasi. Jelas
bahwa untuk diterima dalam konteks budaya lain, prinsip kenotis harus
diterapkan “pada diri untuk menjadi alat inkarnasi Injil dan transformasi
Kristus oleh Injil, yang dilaksanakan dalam berita dan perilaku dalam konteks
actual.
2. Paulus
dan Sikap Determinasi Kontekstual
Dalam
melakukan tugas misi, Paulus mengambil sikap contextual determination dengan
mempertimbangkan segi etis dan penetapan sikap diri yang kontekstual pragmatis
dalam konteks (I Kor 9:16-27).
3. Paulus
dan Pendekatan Kontekstual
Memberi
komentar tentang penerapan kontekstualisasi yang dilakukan oleh Rasul Paulus,
Gilliland berkata, “the work of Paul is a masterful case of contextualization.
The principle is simple to state but intricate to apply. Paul communicats
control truths of the Gospel in a variety of ways, depending on a particular
situation.
C.
Prinsip
Kontekstualisasi Perjanjian Baru
Beberapa
prinsip kontekstualisasi dapat ditarik dari penjelasan diatas, yaitu:
1. Inkarnasi
Yesus Kristus dalam konteks Hebraic yang utuh menjelaskan bahwa inkarnasi Injil
ke dalam konteks suatu budaya haruslah penuh, sebagai dasar kontekstualisasi.
2. Inkarnasi
Injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar penting
keabsahan kontekstualisasi.
3. Konsep
kenotis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberita Injil untuk
mengambil sikap hamba/mengosongkan diri agar dapat berkontekstualisasi dengan
baik.
4. Sikap
determinasi kontektual harus didukung oleh sikap etika kontekstualisasi yang
people oriented – untuk menciptakan pendekatan yang alkitabiah kepada konteks
dan refleksi iman yang kontekstual alkitabiah pula.
5. Sikap
determinasi pendekatan kontekstual memberi peluang kepada usaha pendekatan diri
kepada konteks yang kontekstual yang akhirnya mencipta transformasi dan
refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks di mana Injil diberitakan.
BAB
IV
THE
NEW COVENAT:
DASAR MEMAHAMI ALLAH DALAM KONTEKS
Seperti
telah diuraikan, kontekstualisasi bekerja dalam dua arah, yaitu; inkarnasi
Firman ke dalam konteks sejarah budaya,dan refleksi iman dari dan di dalam
konteks itu sendiri. Bagian ini dapat merupakan suatu sintesis yang memberi
tekanan kepada “dalam konteks teks”, yaitu Allah dapat dipahami dalam konteks
itu sendiri.
A.
The
New Covenant: Hakikat yang satu, pendekatan yang beragam
Istilah
covenant merujuk kepada bentuk “bilateral” yang dilakukan antara dua pihak,
superior-subordinate, untuk saling mengikat diri, yang superior bertanggung
jawab memberikan jaminan perlindungan, sedang yang subordinate bertanggung
jawab untuk tunduk dan taat kepada yang superior. Tanggung jawab masing-masing
pihak diungkapkan dalam hubungan timbal balik yang mengikat serta didukung oleh
ancaman konsekuensi ketidaktaatan.
B.
The
New Covenant: Penakar Keabsahan Elemen Budaya bagi Kontekstualisasi
Secara
tegas dapat dikatakan di sini bahwa new covenant yang seutuhnya menekankan
tentang karya Kristus bagi pembebasan dunia tetap merupakan factor utama bagi
keabsahan kontekstualisasi. Ini berarti bahwa isi kontekstualisasi yang
sebenarnya harus berpusatkan Kristus. Kristus sebagai manifestasi Allah dan
kuasa pembebasan-Nya serta refleksi mereka yang telah dibebaskan atas karya
Kristus merupakan pola kontekstualisasi yang benar.
C.
Prinsip-Prinsip
Kontekstualisasi dari New Covenant
Beberapa
prinsip praktis yang perlu ditekankan sebagai perulangan untuk diingat dalam
proses kontekstualisasi, yaitu:
1. New
Covenant Allah di dalam Tuhan Yesus oleh
darah-Nya yang kudus membuka jalan yang baru dan luas bagi penikmatan anugerah
keselamatan Allah secara luas oleh lebih banyak orang lagi di seluruh dunia
untuk segala zaman (Luk 24:46-48)
2. Setiap
kali terjadi new covenant dalam konteks, maka ada pembebasan kepada timeless
relationship dengan Allah.
3. Peluang
yang terbuka ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Kristus adalah untuk segala
bangsa, dan makin banyak peluang untuk penyataan kehendak Allah dalam suatu
konteks dengan penggunaan pelbagai elemen budaya dalam setiap kelompok budaya.
4. Makin
banyak peluang bagi setiap orang dalam semua kelompok budaya mengenal Allah,
karena dalam new covenant itu bukan saja Kristus untuk segala bangsa, melainkan
juga segala bangsa untuk Kristus.
5. Kristus,
sentral dari new covenant dalam kenyataan, akan mewujudkan covenant Allah yang
sama bagi setiap orang dan segala bangsa dalam konteksnya masing-masing dengan
cara yang sesuai dengan pola budaya mereka.
6. New
covenant yang mengikat setiap orang kepada Allah yang telah dibebaskan di dalam
Kristus memberi peluang yang luas untuk refleksi dalam konteks yang diungkapkan
dengan perspektif budaya setiap kelompok orang.
7. Tidak
ada kontekstualisasi yang benar yang terjadi diluar campur tangan Allah dimana
Allah bertindak memilih elemen budaya yang tepat untuk menyatakan diri dalam
konteks.
BAB V
INJIL
DAN KONTEKS BUDAYA
A.
Hakikat
Injil yang Satu dalam Budaya
Injil
Yesus Kristus adalah satu dan utuh. Injil adalah kabar baik tentang Yesus
Kristus dengan segenap karya pembebasan-Nya bagi dunia.
1. Manusia,
Sasaran Injil
Ada
perdebatan yang berkepanjang tentang apakah Injil ditujukan kepada manusia –
semua bangsa ataukah Injil ditujukan kepada segala makhluk. Perdebatan ini
hampir tidak ada akhirnya, dan tidak jarang membuat jurang pemisah yang lebar
antara kemp-kamp aliran teologi yang menyebut diri Injili dan Oikumenis.
2. Injil,
manusia dan konteksnya
Melihat
kepada dinamika kerja Injil yang utuh dalam pembebasan menusia seutuhnya, kini
tinggal bagaimana menempatkan kuasa pembebasan Injil itu dalam kaitan dengan
manusia dalam konteksnya.
B.
Interaksi
Injil dalam Budaya
Interaksi
Injil dalam budaya terjadi dalam keseluruhan system budaya itu. Bila ada
seseorang yang disentuh oleh Injil, maka ini terjadi pada orag tersebut dalam
kerangka utuh dari budayanya.
1. Memahami
bentuk budaya
Melihat
dari aspek budaya, maka dapat dikatakan
semua bentuk budaya dapat diamati. Di sini tidak ada bentuk budaya apapun dari
suatu kelompok orang yang tidak dapat diamati untuk dipahami.
2. Pola
Kerja Budaya
Pola
kerja budaya ialah kerangka dan mekanisme hidup yang luas dan kompleks dari setiap
budaya. Pola kerja budaya ini menempatkan setiap peserta budaya dalam kerangka
dan mekanisme kehidupan budaya serta berfungsi sebagai dinamika penggerak dalam
budaya.
3. Proses
Pembentukan/Pelaksanaan Budaya
Semua
praktik budaya yang ada dalam suatu budaya dimulai dan dipraktikkan dalam
matriks budaya tersebut pembentukan praktik budaya dapat terjadi karena adanya
enkulturasi yang ditunjang oleh kreativitas manusia.
C.
Prinsip-Prinsip
Penerapan Kerja Injil dan Konteks Budaya
Beberapa
prinsip penting yang perlu dicatat dari studi hubungan Injil dan konteks budaya
adalah, sbb:
1. Injil
yang satu akan selalu berperasi lintas budaya yang diekspresikan dalam Alkitab
dengan terminology budaya.
2. Jarak suatu budaya ke budaya lain sangat
menentukan bagi dampak injil
3. Sasaran
Injil yang satu adalah manusia yang multidimensidan sama seperti injil
membebaskan secara utuh, maka pelayanan Injil pun harus dilaksanakan secara
utuh menjawab seluruh kehidupan manusia dalam segala Aspek, secara prioritas
berimbang
4. Inil
akan selalu beroprasi menjangkau manusia dalam kerangka dan mekanisme kerja
budayanya.
BAB
VI
INJIL
DAN
WORLD
VIEW
A. Karakteristik
world view (kraft, 1987:34-38)
Karakteristk
world view ialah sifat-sifat dasar yang berbentuk asumsi-asumsi yang merupakan
hakikat wprld view, yaitu:
1. Asumsi-asumsi
world view atau premis-premis yang dimilikinya tidak pernah dipertanyakan,
tetapi dianggap benar tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu. Asumsi-asumsi ini
merupakan kepercayaan yang tidak pernah dipersoalkan.
2. World
view dari sekelompok orang mengorganisasi kehidupan dan pengalaman-pengalaman mereka kedalam
suatu kesatuan menyeluruh dan berfungsi sebagai penjelasan apa dan siapa
sebenarnya mereka.
3. Ada
dua typa dasar world view yaitu: (1) asumsi yang bersifat kosmologi atau eksistensial
yang menyangkut keberadaan segala sesuatu sebagaimana semestinya ada, anatara
lain tentang Allah, alam raya, sifat dasar manusia, dsb. Dan (2) asumsi yang
bersifat etis atau normative, yang berhubungan erat dengan nilai.
4. Asumsi
yang berbeda dari world view suatu budaya dengan world view budaya lainnya
adalah alasan bagi kesulitan terbesar yang selalu terjadi dalam konteks satu
budaya dengan budaya lainnya.
Uraian-uraian
diatas menekankan bahwa karakter world view merupakan bentuk-bentuk asumsi yang
dipercayai, dipegang teguh, dan dipraktikkan tanpa mempersoalkannya. Hal ini
menjelaskan bagaimana seseoran dari suatu budaya berfikir dan berindak, dan ini
akan sangat membedakannya dari orang lain dengan budaya yang berbeda.
B. Fungsi
world view
Beberapa
fungsi world view yang dapat menolong kita memahami pandangan hidup seseorang
ialah:
1. Fungsi
menjelaskan, tentang apa dan mengapa esuatu itu ada sebagaimana adanya
2. Fungsi
peneguhan dan pengesahan, atas konsep yang difikrkan
3. Fungsi
memberi dukungan psikologis bagi segala perilaku dan tindak budaya dalam
lingkup sosial
4. Fungsi
perangkum, dengan merangkum semua aspek hidup dan membuat sistematisasi dan
urutan prioritas bagi hdup sehingga terciptalah tatcara hidup osial budaya.
5. Fungsi
adaptasi, adopsi, asimilasi, modifikasi atau rejeksi fakta budaya yang terjadi serta siap untuk
berubah dan menyesuaikan diri.
6. Fungsi
menetapkan urutan nilai, yang menetapkan sikap membuat penilaian atas suatu
perilaku/tidank budaya yang diurut sebagai berikut:
Ø Nilai
primer
Ø Nilai
sekunder
Ø Nilai
tertier
Fungsi-fungsi
world view yang telah dijelaskan diatas memberikan gambaran tentang kefaedahan
dan arti dari suatu perilaku ataupun tindak budaya. Dengan demikian, dengan
melihat perilaku budaya yang ditunjang oleh fungsi-fungsi diatas, kita akan
tertolong untuk memahami world view dari suatu budaya yang dengan sendirinya
menguraikan isi hati dari budaya tersebut.
C. Proses
pembakuan World view
Proses
pembakuan world view menjelaskan tentang dari mana bagaimana terjadinya world
view yang akhirnya menjadi baku dan dianggap sebagai milik suatu budaya. Perlu
dijelaskan bahwa pembakuan world view dapat terjadi karena proses enkulturasi
(didalam budaya) atau akulturasi (dari luar budaya). Setiap perubahan yang
datang akan selalu menyentuh wolrd view. Bila world view disentuh, maka akan
terjadi reaksi menolak atau menerima. Seandainya suatu perubahan yang terjadi
itu diterima, maka perubahan itu akan menyentuh dan ditata dalam nilai hdup,
yang kemudian akan masuk kedalam wadah institusionalisasi/pembakuan dan akhrnya
sampai pada proses naturalisasi yaitu telah terjadi sifat dasar. Pada
gilirannya, apabila sifat dasar ini diekspresikan lewat world view, semua ini
akan menggambarkan bahwa apa yang telah di ekspresikan itu ialah milik budaya yang
mengekspresikannya.
D. Perubahan
World view
Suatu
perubahan besar yang terjadi didalam suatu budaya, menyangkut perubahan
terhadap world view. Telah disinggung secara sepintas bahwa world view itu
berkembang dengan cara enkulturasi (pendidikan dalam budaya) dan akulturasi,
hidup dan nlai-nilai hidup diturnkan dari dipelihara dan dilanjutkan. Namun ada
beberapa kesulitan dari faktor manusia yang membuat adanya
kemungkinan-kemungkinan timbulnya perubahan dalam bentuk penambahan,
penyimpangan, modifikasi, pengurangan, bahkan unsur-unsur budaya. Dengan adanya
“kemungkinan berubah” secara enkulturasi ini, maka kenyataan ini memberikan
peluang kepada kemungkinan akulturasi yang datang dari luar terhadap suatu
budaya.
Proses
akulturasi suatu budaya kepada budaya lainnya merupakan
hal yang sangat mungkin, mengingat hakikat manusia sebagai makhluk
budaya/makhluk sosial yang telah diciptakan untuk hidup dan dapat hidup dengan
mansia dari budaya lain.
Dalam
akulturasi, biasanya suatu unsur budaya yang dominan dapat menguasai dan
membawa perubahan pada budaya lainnya. Dengan demikian, suatu perubahan
terencana dapat diadakan dalam akulturasi dengan memperhatikan langkah dan
proses membawa perubahan. Dengan memahami world view dan perubahan world
view/budaya, orang luar dapat memahami jalan masuk kedalam budaya sehingga
injil memiliki peluang untuk masuk dan mengadakan transformasi. Dengan
demikian, upaya pemahaman world view akan menolong langkah pemanfaatan untuk
berkontekstualisasi secara baik (membawa Injil- penyataan Allah dari luar dan
respons world view atas injil – terjadi di dalam dan merujuk kepada
transformasi Allah atas orang dalam budayanya).
E. Prinsip-prinsip
hubungan Injil dan world view
Beberapa
prinsip dasar yang perlu dikaji yang dapat menghubungkan Injil atau dengan
melalui World view adalah sebagai berikut:
1. Para
pelayan Injil perlu mengembangkan usaha menalar dan memahami karateristik world
view dari orang yang akan diinjili guna menemukan asumsi-asumsi dasar yang
merupakan realitas bagi mereka untuk menghubungkan pendekatan yang kontekstual
dari pemahaman akan world view tersebut.
2. Dalam
usaha pemahaman karakteristik worl view perlu pula memahami fungi world view
untuk memperdalam pengenalan akan world view orang yang akan diinjili guna
menetapkan langkah prektis yang tepat dalam berinteraksi dengan orang didalam
konteks budaya mereka.
3. Usaha
pemahaman world view yang diuraikan harus ditunjang dengan pengetahuan tentang
bagaiman proses dan mekanisme pembakuan world view. Usaha ini akanmenolong memuka wawasan tentang bagaimana
proses fasilitsi injil agar injil dapat memasuki inti budaya, mengadakan
transformasi dengan perubahan yang berimbang dan stabil.
4. Dalam
upaya penginjilan harus diupayakan “frame work” yang mencipta pendekatan kea
rah perubahan berimbang demi kemajuan/kestabilan yang memungkinkan Injil dapat
merembes dengan lebih cepat dan luas.
BAB VII
PROSES KONTEKSTUALISASI
Proses kontekstualisasi adalah usaha
integrative yang memadukan segala upaya pemahaman kognitis tentang pandangan
Alkitab terhadap kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia dalam
konteks budaya tersebut serta usaha pendekatan injil dalam mekanisme budaya
pada setiap konteks. Pokok ini akan secara rinci mendiskusikan enam segi
penting bagi proses kontekstualisasi, yaitu: Alkitab, kebudayaan dan refleksi
teologi; model-model pendekatan kontekstualisasi; pendekatan penerapan
kontekstualisasi; Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi; kontekstualisasi
bagi pengembangan gereja yang kontekstual; dan prinsip-prinsip dalam proses
kontekstualisasi.
A. Alkitab,
Kebudayaan dan Refleksi teologi
Dalam
menguak hubungan antara Alkitab, kebudayaan, dan refleksi teologi, beberapa
dasar penting akan disinggung yaitu:
1. Allah, manusia dan budaya
2. Keabsahan Dimensi Teologi
kontekstualisasi
3. Refleksi Teologi Kontekstualisasi
Dalam
uraian diatas telah dipaparkan tentang mekanisme hubungan Alkitab kebudayaan
dan refleksi teologi dalam konteks budaya yang menjadi dasar untuk bertteologi
dalam konteks. Prinsip-prinsip tersebut hanyalah merupakan penuntun bagi
teologi kontekstualissi, sedang dalam pelaksanaan yang actual dalam satu
konteks budaya sangat dituntut sikap bertangguang jawab dari pihak pembita
injil sehingga secara sensitive dapat mengarahakan fasilitssi interaksi Firman
dan refleksi teologi atas Firman di dalam konteks budaya tersebut dengan
sebaik-baiknya.
B. Model-model
Pendekatan kontekstualisasi
Model-model
pendekatan teologi kontekstualisasi ialah beberapa model penafsiran tentang
berteologi dalam konteks yang didasarkan atas prinsip dogmatic terentu.
Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum tentang usaha berteoloi
dalam konteks yang pernah dibuat. Disamping itu, model-model tersebut menolong
kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu pendekatan teologi
kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan da
Model-model
berkontekstualisasi dapat diuraikan dengan singkat, sebagai berikut:
1. Model akomodasi (KPR
17:28)
Akomodasi
adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli yang dilakukan
dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris baik
secara teologi maupun secara ilmiah. Di sini, dalam komunikasi injil, terjadi
proses penetrasi dan dalam penerapannya terdapat pengambilalihan unsur budaya
stempat untuk mengekspresikan dan meningkatkan sambutan atas injil.
2. Model Adaptasi
Perbedaan
adaptasi dan akomodasi terletak pada cara pendekatannya, Model adaptasi tidak
mengasimilasikan unsur budaya dalam mengekspresikan Injil, tetapi menggunakan
bentuk dan ide budaya yang dikenal.
Tujuan
adaptasi ialah mengekspresikan dan menerjamahkan Injil dalam istilah setempat (indigeneous terms) sehingga menjadi
relevan dalam situasi budaya tersebut.
3. Model Prossio
Prosessio
adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negative. Proses Prosseio
terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok
prosseio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan
tidak ada kebaikan yang muncul dari dalamnya.
4. Model Transformasi
Allah
itu di atas budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen
kebudayaan untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui Allah, maka
inti kebudayaannya juga dibaharui (II Kor 5:17).
5. Model Dialetik
Ini
adalah interaksi dinmis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh
perkiraan yang kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap
kurun waktu perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian gereja harus
menggunakan peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai
setiap keadaan.
C.
Pendekatan
penerapan Kontekstualisasi
Kunci utama penerapan konsep
kontekstualisasi ialah pemahaman akan proses “hermeneutic” yang relevan dari
segi pelayanan Injil. Ada dua kata pendekatan dalam proses hermeneutic yang
akan disinggung untuk memberikan gambaran tentang pentingnya penalaran
hermeneutic dalam berkontekstualissi, yaitu: pendekatan “formal atau Tradisional”,
dan Pendekatan “Dynamic Equivalence”.
1.
Pendekatan
Formal atau Tradisioanal
Pendekatan ini disebut
juga sebagai formal correspondence approach. Pendekatan dilakukan tanpa
memperhatikan faktor sejarah dan sosio-budaya dalam konteks aslinya dan konteks
hidup masa kini.
Pendekatan ini
mengabaikan kenyataan “keanekaragaman budaya” dengan bentuk, fungsi, dan arti
yang berbeda dari suatu konteks sejarah budaya dengan konteks lain.
2. Pendekatan Dinamic Equivalence
Pendekatan ini
dipelopori oleh Charles H. Kraft yang bertujuan menciptakan impak yang seimbang
pada situasi konteks sejarah-budaya asli dimana Firman Tuhan pertama
diilhamkan.
Untuk melakukan
pendekatan dynamic equivalence ini baik dalam hermeneuitik, penerjemahan teks,
maupaun dalam berteologi, ada beberapa langkah yang harus diambil.
·
Setiap bahasa memiliki kelebihan
sendiri-sendiri dan sifat yang khsus.
·
Berkomunikasi yang efekif dalam bahasa
orang lain, maka komunikator harus menghargai bahsa lain
·
Segala sesuatu dapat diungkapkan dalam
bahasa lain keuali bentuk kata atau kalimat yang mengandung unsur khusus bagi
berita yang disampaikan
·
Untuk menjaga isi berita, maka bentuk
berita perlu diubah.
·
Bahasa-bahasa asli yang digunakan dalam
Alkitab memliki keterbatsan sama seperti dibahasa lain, karena itu jangan
menganggapnya terlalu suci untuk dianalisis dan diterjemahkan kedalam bentuk bahasa modern.
Gereja
local yang kontekstual atau mandiri, Allan R. Tippett dalam menglas indigen
D. Komunikasi
Injil dalam Berkontekstualisasi
Dalam
mengulas pokok komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi ada tiga pokok
penting yang akan dibahas, yaitu: Bentuk inteaksi Komunikasi Injil; prinsip
dasar komunikasi Injil ; dan Prinsip komuniksi Injil yang efektif.
1. Bentuk Interaksi Komunikasi Injil
2. Prinsip Dasar Komuikasi Injil
3. Prinsip Komunikasi Injil yang
Efektif
E. Kontekstualisasi bagi pengembangan
Gereja yang kontekstual
Jelaslah bahwa sasaran dari komuikasi
Injil yaitu berteologi dalam konteks ialah mengembangkan gereja local yang
kontekstual. Untuk mengembangkan gereja local yang kontekstual. Untuk
menegembangkan gereja local yang kontekstual atau mandiri, Allan R. Tippett
dalam mengulas Indigenous Principlesin
Mission Today (Kraft – wisely, 1979:52-70) menekankan bahwa: Menurut Tippett,
gereja local yang kontekstual harus bertumbuh secara utuh sebagai akibat dari
pembebasan Injil. Refleksi dari pembebasan Injil dinyatakan dalam pertumbuhan
gereja yang kontekstual, dimana orang-orang Kristen yang diselamatkan Tuhan
pada suatu konteks menghimpunkan diri kedalam gereja local. Refleksi pembebasan
Injil ini dibuktikan dalam kehidupan gereja yang dinamis, dimana gereja itu
bertumbuh dalam dimensi utuh, yaitu pertumbuhan kuantitas, pertumbuhan
kualitas, dan pertumbuhan organis (fungsional ) yang stabil dan seimbang.
Tanda-tanda dari gereja local yang kontekstual (mandiri) dikembagkan oleh
Tippett dengan menyoroti teori “ there-self
“ dari Rufus Anderson dan Henry Venn dan menekankan bahwa ciri-ciri gereja
kontekstual/mandiri yang diuraikan secara popular adalah sebagai berikut:
1. Memiliki
gambaran diri sebagai “tubuh Kristus” gereja harus memehami dan melihat dirinya
sebagai tubuh kristus yang dinyatakan dalam konteks, pola, bentuk, keragka, dan
system sosio –budaya-lokal-seutuhnya.
2. Berfungsi
sendiri atau dapat disebut mandiri,
3. Memiliki
kemampuan membuat keputusan bagi diri sendiri.
4. Membiayai
diri sendiri dengan menggali sumber dana menurut Alkitab dalam jemaat dan
konteks hidup tanpa bergantung pada sumber luar.
5. Giat
dan aktif untuk mengembangkan diri sendiri; semua anggota jemaat local terlibat
secara aktif dalam mengembangkan “charisma Rohani”.
6. Mengabdikan
diri sebagai pelayan Tuhan
F.
Prinsip-prinsip
dalam proses kontekstualisasi
Mengakhiri bab ini, perlu sekali
diuraikan ulang tentang beberapa prinsip seputar pelaksanaan proses
kontekstualisasi untuk lebi diingat, yaitu:
1. Perlu
diingat bahwa Alkitab tetap memberikan tempat utama bagi Allah tanpa
mencampurkan dengan makhluk sekalipun Allah yang diatas itu bekerja melalui
budaya.
2. Alkitab
memandang kebudayaan sebagai positif karena merupakan mandate budaya sedangkan
kebudayaan itu negative karena dosa dan dilakukan dalam diri dosa.
3. Dalam
berteologi di dalam konteks, perlu dilihat kebsahannya yang diukur dengan sikap
terhadap:
·
Alkitab adalah Firman Allah
·
Allah adalah pencipta Abadi
·
Yesus kristus adalah Allah dan
satu-satunya juruselamat dunia.
·
Roh kudus adalah Allah, penolong,
pembimbing, dan pemberi hidup berkemenangan
·
Manusia adalah berdosa, dan hanya
diselamatkan oleh karya kristus
·
Gereja adalah umat Allah yang dipanggil
sebagai saksi kristus.
Komentar
Posting Komentar